oleh :: KHAIRULNAS, SH -Dosen Fakultas Hukum UMSB Bukittinggi
Dasar Pemikiran
Terlanggarnya hak, menyebabkan pihak yang merasa dirugikan akan meminta pertanggungan jawab terhadap apa yag telah dilakukan tersebut. Melihat kepada konsep peradilan kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia –setidaknya- membedakan kepada 4 (empat) kategori peradilan yaitu adanya peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer. Kategori dari setiap peradilan disesuaikan kepada jenis hak yang –patut diduga- telah dilanggar.
Peradilan umum, akan menyidangkan suatu perkara dapat dilihat dari 2 (dua) sudut pandang, yaitu, ketika hak yang terlanggar tersebut adalah haknya Negara maka subjek hukum yang melanggar akan dituntut oleh negara, dan inilah yang melahirkan sistem peradilan pidana. Sedangkan jika hak yang terlanggar tersebut adalah haknya orang maka yang akan mempertahankan hak yang terlanggar itu adalah orang yang merasa dirugikan tadi atau haknya telah terlanggar tadi, inilah yang disebut dengan sistem peradilan perdata. Pembedaan tersebut dilihat dari sudut pihak yang dirugikan, jika negara yang dirugikan maka yang menuntut adalah negara, sebalikya jika orang yang dirugikan maka orang tersebut yang akan mempertahankan haknya.
Mengacu kepada praktek sistem peradilan perdata, berdasarkan observasi yang dilakukan pada sistem ini, proses menuntut dan mempertahankan hak yang terlanggar dapat dibagi kepada 2 (dua) wujud, yakni adanya segi formalitas yang harus dipenuhi dan segi materil yang juga harus dipenuhi. Tidak terpenuhinya salah satu segi dapat menyebabkan proses mempertahankan hak akan dapat tidak diterima (N.O) atau dapat ditolak oleh lembaga pengadilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung).
Segi formalitas dan materil ini dalam proses sistem peradilan di Indonesia disatukan atau pemeriksaannya dilakukan secara bersama-sama dan menyeluruh, sehingga bagi justitiabelen (pencari keadilan) yang tidak paham seluk beluk ini akan sering dikalahkan oleh segi formalitas, walaupun pada hakikatnya -segi materil- dia dapat membuktikannya. Kasus seperti ini ada terjadi, akibatnya kekecewaan yang tidak terhingga dapat kita rasakan, apalagi kasusnya sampai kepada level yang tertinggi yaitu Mahkamah Agung.
Berdasarkan pemikiran singkat ini, penulis tertarik untuk melakukan sumbangsih pemikiran, dengan harapan berguna bagi menciptakan peradilan Indonesia yang semakin mencapai sasaran adanya keadilan substantif yang berlandaskan kepada hukum sebagai panglima, InsyaAllah.
Quid leges sine morbius
Hukum disepakati sebagai sebuah norma yang harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya, karena itu hukum diberi berbagai atribut supaya seluruh lapisan menaatinya yang pada akhirnya akan menciptakan tertib bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun adagium diatas juga harus dipertimbangkan, apalah artinya hukum jika hukum tidak disertai dengan moralitas, walaupun hukum itu tidak memandang siapa yang terkena olehnya, karena hukum adalah ciptaan subjek hukum maka tentu terkadang hukum yang dibuat tersebut juga ada kelemahannya yang harus diperbaiki sehingga hukum tidak melupakan kodrat penciptaanya yang ditujukan kepada subjek hukum itu sendiri.
Hukum dalam sistem peradilan terutama acara perdata telah diatur sedemikian rupa sehingga subjek hukum yang merasa haknya ternganggu dapat meminta haknya dipulihkan seperti keadaan semula. Namun pada sistem yang telah ada kita merasa ada yang kurang sesuai dengan keadilan dan kemanfaatan yang diinginkan oleh hukum itu sendiri dengan landasan moralitas yang baik.
Mengacu kepada proses acara perdata, segi formalitas dan segi materil diperiksa secara bersama-sama. Segi formalitas adalah bagian didalam mempertahankan hak yang terlanggar dimana diatur tata cara dalam mempertahankan hak tersebut, seperti adanya surat kuasa khusus mewakili didalam persidangan, dimana form surat kuasa tersebut telah ada acuan jelasnya, atau siapa yang berhak mengajukan tuntutan hak atau melakukan pembelaan hak yang terlanggar, ini juga telah ada acuannya didalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pedata kita. Kemudian segi materil mempertahankan hak, inilah yang diberikan hak penuh kepada subjek hukum yang merasa haknya terlaggar untuk menyakinkan pengadilan bahwa haknya telah dilanggar sehingga perlu dipulihkan kepada keadaan semula. Dan kita melihat hakikat dari peradilan perdata adalah segi materil ini, itu sebabnya pada proses ini hakim bersifat pasif artinya hakim hanya melihat kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Untuk itulah diminta sangat keaktifan dari para pihak untuk menyakinkan pengadilan bahwa haknya harus dipulihkan kembali.
Perlunya Pengadilan Subtansif
Aspek didalam proses peradilan perdata memang terdiri dari dua segi tersebut, dan proses kedua segi ini memerlukan waktu yang tidak sebentar, kalau perkaranya sampai kepada Mahkamah Agung bisa mencapai waktu 5 (lima) tahun, sebuah perjuangan yang melelahkan. Sehingga tidak jarang terjadi, ketika suatu kasus terjadi dan sampai ke Mahkamah Agung pihak yang secara materil adalah pihak yang benar akhirnya harus kecewa dengan adanya putusan yang menyatakan bahwa secara formal permintaan pemulihan haknya tidak diterima.
Berangkat dari ini, adanya pemikiran bahwa proses peradilan sistem perdata, -termasuk proses peradilan pidana atau lainnya- perlu disederhanakan. Kita tahu bahwa proses peradilan itu harus dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Namun adanya dua segi yang diperiksa secara bersamaan telah memunculkan proses berbelit, lama dan biaya besar.
Model Pengadilan Substantif yang kita maksud adalah adanya proses peradilan dibagi kedalam 2 (dua) tingkat yaitu Peradilan Formalitas dan Peradilan Materilitas. Pada peradilan formalitas, suatu perkara yang masuk kepada pengadilan (Pengadilan Negeri) dimana pengadlan hanya berwenang untuk memeriksa dan memutuskan tentang kisi-kisi dari tata cara mengajukan tuntutan hak yang terlannggar, sehingga pada akhirnya isi dari putusan tentang Peradilan Formalitas hanya ada dua opsi yaitu perkara tersebut telah memenuhi ketentuan proses beracara perdata sehingga dapat dilanjutkan kepada pemeriksaan peradilan materilitas (yaitu pengadilan tinggi) atau perkara tersebut tidak memenuhi ketentuan proses beracara perdata sehingga tidak dapat dilanjutkan kepada pemeriksaan peradilan materilitas, untuk itu diberikan rekomendasi mengulang perkara baru dengan perbaikan yang harus dilakukan. Lamanya proses peradilan formalitas ini adalah sebanyak 4 kali persidangan atau dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sudah diputuskan. Dan putusan peradilan formalitas ini adalah final. Peradilan formalitas dilakukan pada Pengadilan Negeri yang ada saat ini.
Putusan peradilan formalitas yang mengatakan perkara dapat dilanjutkan pemeriksaannya kepada peradilan materilitas. Nah, pada peradilan materilitas inilah diperiksa pokok perkara yang disengketakan oleh para pihak, disinilah sangat berperan keaktifan para pihak untuk membuktikan bahwa haknya terlanggar sehingga perlu dipulihkan kepada keadaan semula. Peradilan materilitas ini disidangkan oleh hakim – hakim yang minimal yang setara dengan hakim pengadilan tinggi. Isi putusan dari peradilan materilitas adalah menerima atau menolak dari gugatan yang diajukan, sehingga menimbulkan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan kepada justitiabelen. Putusan dari peradilan materilitas ini hanya dapat dilakukan upaya kasasi kepada Mahkamah Agung. Lamanya proses peradilan materilitas ini adalah maksimal 6 bulan. Peradilan Materilitas sebaiknya dilakukan oleh Pengadilan Tinggi, namun karena adanya asas biaya ringan, maka kita berharap hakim-hakim yang ada pada pengadilan tinggi diperbantukan kepada pengadilan negeri untuk memeriksa perkara.
Harapan
Adanya Pengadilan Substantif ini yang terbagi kepada proses peradilan formalitas dan proses peradilan materilitas pada akhinya kita berharap akan terciptanya suatu proses peradilan yang memenuhi kehendak keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi pencari keadilan dengan landasan peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaiman yang kita cita-citak bersama.
Pengadilan Substantif dapat mencegah para pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan dalam waktu yang tidak terlalu lama dan terhindar dari adanya untuk tidak mendapat keadilan karena proses formalitas beracara yang tidak terpenuhi setelah melakukan perjuangan yang melelahkan dalam mempertahankan haknya, apalagi terjadinya pada tahap Mahkamah Agung, yang notabene bukan pokok perkara yang sebenarnya.
Disamping itu juga, para hakim yang menyidangkan perkarapun akan semakin sulit untuk ”bermain-main” terhadap kasus yang disidangkan, karena setiap proses sudah semakin transparan dan dapat diuji, dan pada akhir dari ini adalah terciptanya putusan yang berbobot dan menyentuh kepada sasaran para pencari keadilan. Dan yang juga tidak kalah penting adalah terciptanya lembaga pengadilan yang benar–benar pencerminan dari wakil dari tuhan didunia, sehingga masyarakat tidak akan lagi menghujat kepada hasil kinerja pengadilan, vox populi vox dei .
SEMOGA BERMANFAAT UNTUK KITA SEMUA
SALAM: BILLY GUSTAMA
Apa Perbedaan Makalah dan Skripsi?
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Sahabat Sangat Berarti Bagi Blog ini
Mohon cantumkan url blog/twitter/Open ID/facebook sahabat
Please...Tinggalkan Komentar Sahabat dan
Beri Tanda di salah satu pilihan pendapat
Terima Kasih Atas Kunjungannya