(___The GoLdeN^^FloWer__**BiLLy Tama**) BELAJAR BERSAMA: Hukum Tata Negara Republik Indonesia
Belajar Bersama
bigoes tama:

Rabu, 04 Agustus 2010

Hukum Tata Negara Republik Indonesia

SEMOGA BERMANFAAT UNTUK KITA SEMUA
SALAM: BILLY GUSTAMA

PKNI4206
Hukum Tata Negara Republik Indonesia



Tinjauan Mata Kuliah
Mata kuliah hukum tata negara membahas konsep dasar hukum tata negara, pembentukan dan perkembangan konstitusi, lembaga perwakilan rakyat, sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, pemilihan umum, demokrasi dan hak asasi manusia, hubungan antar lembaga tinggi negara, kapita selekta ketatanegaraan, materi dan model pembelajaran hukum tata negara.
Penguasaan terhadap materi mata kuliah ini akan merupakan bekal yang mantap bagi Anda untuk meningkatkan kinerja dan layanan pembelajaran siswa-siswi Anda. Di samping itu juga bermanfaat bagi Anda untuk mengamati dan menganalisis dalam praktik penyelenggaraan Ketatanegaraan Republik Indonesia.
Setelah Anda mempelajari materi mata kuliah ini diharapkan dapat memiliki kemampuan memahami dan menjelaskan:

  1. Konsep Dasar Hukum Tata Negara.
  2. Pembentukan dan Perkembangan Konstitusi.
  3. Lembaga Perwakilan rakyat.
  4. Sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia.
  5. Pemilihan umum.
  6. Demokrasi dan hak asasi manusia.
  7. Hubungan antar lembaga tinggi negara.
  8. Kapita selekta ketatanegaraan.
  9. Materi dan model pembelajaran hukum tata negara.
Untuk mencapai tujuan tersebut materi HTN RI ini disajikan seperti, maka perlu dipelajari dalam mata kuliah berikut:
  1. Modul 1: Konsep Dasar Hukum Tata Negara
  2. Modul 2: Pembentukan dan Perkembangan Konstitusi
  3. Modul 3: Lembaga Perwakilan Rakyat
  4. Modul 4: Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia
  5. Modul 5: Pemilihan Umum
  6. Modul 6: Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
  7. Modul 7: Hubungan antara lembaga-lembaga tinggi negara dan pemerintah daerah
  8. Modul 8: Kapita Selekta Kenegaraan
  9. Modul 9: Materi dan Model Pembelajaran Hukum Tata Negara
Agar Anda berhasil menguasai materi tersebut di atas, ikutilah petunjuk belajar berikut ini. Mulailah dengan membaca modul pertama. Untuk mempelajari setiap modul ikutilah prosedur berikut ini.
  1. Baca pendahuluan setiap modul dengan cermat, sebelum membaca materi kegiatan belajar.
  2. Baca materi kegiatan belajar dengan cermat dan baca buku penunjang lainnya termasuk perangkat perundang-undangan yang mendukungnya.
  3. Kerjakan latihan sesuai petunjuk/rambu-rambu yang diberikan. Jika tersedia kunci latihan, janganlah melihat kunci sebelum mengerjakan latihan.
  4. Baca rangkuman, kemudian kerjakan tes formatif secara jujur, tanpa terlebih dahulu melihat kunci.
  5. Laksanakan tindak lanjut sesuai dengan prestasi yang Anda peroleh dalam mempelajari setiap kegiatan belajar.


MODUL 1: Konsep Dasar Hukum Tata Negara
Kegiatan Belajar 1: Peristilahan dan Definisi HTN
Rangkuman

Berdasarkan analisis dari pengertian yang dikemukakan oleh para pakar asing maupun dari dalam negeri, kiranya menambah wawasan Anda untuk memahami apakah yang dimaksud dengan Hukum Tata Negara tersebut. Dari analisis sejumlah definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan, untuk dikaji lebih lanjut sebagai berikut.
  1. Hukum Tata Negara merupakan hukum publik, yang memberikan landasan yuridis bagi pembentukan struktur negara dan mekanisme pemerintahan.
  2. Hukum Tata Negara memuat norma hukum yang mengatur organisasi negara sebagai organisasi kekuasaan.
  3. Hukum Tata Negara mengatur hubungan antara pemegang kekuasaan dan individu sebagai warga negara.
  4. Hukum Tata Negara memandang negara sebagai suatu organisasi yang terdiri dari berbagai lembaga yang mendukung organisasi tersebut.
Penggunaan istilah ini selain dipengaruhi oleh kebiasaan dalam dunia akademik dan praktik, tetapi dipengaruhi pula oleh kondisi hukum positif di negara masing-masing. Lebih dari itu dipengaruhi pula oleh dasar-dasar serta nilai dan aspek filosofis dalam negara tersebut. Hal ini ada kaitannya pula dengan keragamannya perumusan definisi pengertian yang dirumuskan oleh para pakar yang terikat oleh kondisi masing-masing.
Di Indonesia istilah Hukum Tata Negara dan Hukum Tata Usaha Negara masih bertahan dan ditopang dengan kondisi yang ada serta perkembangan dalam dunia akademik maupun praktik yang masih membedakan kedua lapangan kajian hukum ini.
Berikut ini perlu diperhatikan bahwa Hukum Negara, yaitu yang objeknya negara terdiri dari HTN dan HTUN. Seperti telah dikemukakan bahwa untuk hal tertentu kedua lapangan hukum ini sulit untuk dibedakan bahkan tidak dapat dipisahkan dalam kerangka studi hukum secara makro. Namun, dapat dikemukakan bahwa ciri utama dari HTN memuat norma-norma hukum yang mengatur tentang struktur organisasi negara dan mekanisme pemerintahan. Berbeda dengan kaidah hukum publik lainnya yang mengatur kepentingan umum kaitannya masih dengan perilaku manusia. Silakan Anda pelajari gambar di atas.
Dalam rangka studi Hukum Tata Negara akan dihadapkan kepada perlunya membedakan antara tugas dan lapangan HTN dan HTUN sehingga bagi yang akan melakukan studi dapat memilih dan menempatkan perhatian pada sasaran pembahasan yang tepat. Dengan demikian, diharapkan memiliki ketepatan secara yuridis.
Kegiatan Belajar 2: Ruang Lingkup dan Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Politik dan Ilmu-Ilmu Sosial lainnya
Rangkuman

Logemann dalam hukumnya HTN Staatrecht van Indonesia het formele system HTN mencakup Susunan dari jabatan, penunjukan mengenai jabatan, tugas dan kewajiban dari lembaga dan pimpinan, kebenaran dan kewenangan dari lembaga-lembaga negara, batas wewenang dan tugas dari jabatan beberapa daerah dan yang dikuasainya, hubungan antar lembaga dan hubungan antara jabatan dan pejabat.
Ruang lingkup HTN menurut Usep Ranawijaya adalah ketentuan hukum administrasi negara sebagai bagian dari organisasi negara bertugas melaksanakan yang ditetapkan pokok-pokoknya oleh badan ketatanegaraan yang lebih tinggi dan ketentuan hukum mengenai organisasi negara lainnya.
Pendekatan metodologi HTN terdiri dari dua yaitu:
Pertama melihat fenomena HTN sebagai masalah yang objek kajiannya yuridis konstitusional, atau validitas kebenaran. Kedua pendekatan yang tidak terbatas pada yuridis konstitusional lebih luas dan bersifat multi disiplin.
Kegiatan Belajar 3: Sumber Hukum Tata Negara
Rangkuman

Sumber hukum diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan kaidah hukum itu ada dan memiliki kekuatan logikanya sumber hukum adalah sesuatu yang dijadikan bahan penyusunan dan mengesahkan dari pada hukum tersebut.
Hukum Tata negara merupakan perwujudan konstitusional dari nilai-nilai Pancasila untuk di implementasikan dalam kehidupan bernegara. Maka yang menjadi sumber materiil itu tidak lain dari Pancasila. Kekuatannya bahan yang akan dijadikan muatan hukum tata negara tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Bahkan jika bertentangan maka hukum tersebut cacat karena hukum, tidak memiliki kekuatan lagi. Berdasarkan hal tersebut di atas maka yang menjadi sumber hukum tata negara di Indonesia ialah 'Pancasila'
Konvensi harus bersifat melengkapi dan memperkuat implementasi UUD 1945. Tidak boleh bertentangan dan jika bertentangan tidak akan memiliki kekuatan hukum, bahkan gugur dengan sendirinya dan dinyatakan 'Inkonstitusional'
Kedudukan konvensi yang demikian memiliki fungsi dan peran dalam memperkuat fleksibilitas dari UUD 1945. Inilah merupakan ciri utama dari konvensi dalam kerangka pelaksanaan UUD 1945 tersebut.
Daftar Pustaka
  • Arbi Sanit. (1981). Sistem Politik Indonesia Kestabilan Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan. Jakarta: Rajawali.
  • David E. After (1970). Pengantar Analisis Politik. Jakarta: Rajawali.
  • Easton, David. (1971). A System Analysis of Political Life. New York-London, Sydney: John Wiley & Sons Inc.
  • Kranenburg. (1950). Ilmu Negara Hukum. Terjemahan. Mr. Tk. B. Sabaroedin.
  • Moch. Kusnadi, dkk. (1983). Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta: Pusat Studi Hukum tata Negara UI.
  • M. Solly Lubis. (1993). Ketatanegaraan Republik Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
  • Satjipto Rahardjo. (1991). Ilmu Hukum Tata Negara, Bandung; Citra Aditya.
  • Sjachran Basah. (1987). Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan). Bandung: Alumni.
  • Soehino. (1983). Ilmu Negara, Yogyakarta Liberty.
  • Suwarma Almuchtar. (1999). Peradilan Tata Usaha Negara Bandung: Epsilon.
  • ___________. (1999). Pengantar Studi Hukum Tata Negara. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.
  • ___________. (2000). Pengantar Studi sistem Politik. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.
  • ___________. (2001). Revitalisasi Pendidikan Demokrasi dan ilmu Hukum Tata Negara. Pengukuhan Guru Besar, UPI, Bandung.
  • Strong, C.F. (1960). Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing From. London: Sidgwick & Jackson, Ltd.
  • Padmo Wahyono. (1984). Penghimpun Masalah Ketatanegaraan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.


MODUL 2: Pembentukan dan Perkembangan Konstitusi
Kegiatan Belajar 1: Proklamasi Sumber Pembentukan Hukum Tata Negara
Rangkuman

Berdasarkan uraian di atas, dikaitkan dengan kepentingan studi Negara, kiranya dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain berikut ini.
  1. Proklamasi merupakan bagian yang terintegrasi dengan pembukaan UUD 1945, sebagai keputusan politik bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan. Memiliki kedudukan secara yuridis sebagai sumber Hukum Tata Negara.
  2. Rumusan Pancasila sebagai dasar negara terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat, merupakan sumber dari sumber Hukum Tata Negara, memiliki kedudukan yang kokoh dan tidak ada suatu badan yang berhak dan berwenang untuk mengubahnya.
  3. Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara, rumusannya dalam Pembukaan UUD 1945 ditulis "Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
  4. Pembukaan UUD 1945, merupakan sumber nilai dan moral untuk membentuk Hukum Tata Negara bagi kepentingan mendirikan dan membangun negara Indonesia. Memberikan arah bagi isi Hukum Tata Negara Indonesia.
  5. Arah dan isi, antara lain terwujud dalam konsep-konsep dasar yang mencakup tentang konsep dasar negara, falsafah bangsa, tujuan negara, bentuk dan susunan organisasi negara, fungsi negara, lembaga dan sistem perwakilan, lembaga dan sistem permusyawaratan, sistem Undang-Undang Dasar dalam membangun Indonesia Merdeka, konsep Negara Hukum, Konsep Negara Berketuhanan Yang Maha Esa, konsep negara kesejahteraan, konsep negara kekeluargaan (integralistik), konsep demokrasi Pancasila.
  6. Konsep-konsep tersebut digunakan pada saat pembentukan Hukum Tata Negara. Konsekuensinya untuk memahami dan mendapatkan makna yang benar perlu menggunakan konsep-konsep tersebut pada saat melakukan studi tersebut.
Menyadari pentingnya kedudukan pembukaan UUD 1945, dalam rangka melakukan studi Hukum Tata Negara, perlu ditegaskan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, harus dijadikan landasan nilai moral untuk mempelajari dan memberikan makna dalam kerangka menafsirkan hukum tersebut.
Kegiatan Belajar 2:Dasar Teoretis dari Materi Hukum Tata Negara
Rangkuman

Pembukaan dan Proklamasi terbukti baik secara historis, filosofis maupun yuridis bermuara dalam bentuk keputusan politik tertinggi. Konsekuensinya dalam studi Hukum Tata Negara, perlu dikembangkan pendekatan yang menempatkan keduanya sebagai produk keputusan politik tertinggi bangsa Indonesia.
Makna dari negara hukum selalu dikaitkan sebagai kebalikan dari konsepsi negara kekuasaan. Oleh karena itu negara hukum menunjuk kepada sistem konstitusional, artinya sistem konstitusional merupakan ciri utama dari konsepsi negara hukum.
Trias Politika walaupun tidak dilaksanakan secara konsekuen namun di Inggris tetap dipandang penting dalam pemikiran politik kenegaraan. Begitu pula di negara kita, UUD 1945 tidak menganut teori ini secara konsekuen. Namun demikian untuk bidang kekuasaan yudikatif masih dijadikan dasar pemikiran. Kekuasaan kehakiman bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya. Sistem pemerintahan menurut UUD 1945 tidak menganut teori pemisahan kekuasaan tetapi yang dikembangkan teori "pembagian kekuasaan". Pembagian kekuasaan lebih tepat dan sesuai dengan ide dari negara kesatuan yang berintikan paham integralistik yang berdasarkan Pancasila.
Para Pendiri Republik ini dengan sengaja merumuskan pasal-pasal konstitusi kita sebagai penjabaran Pancasila, ideologi kita dengan kalimat-kalimat pendek yang mereka sebut sebagai aturan-aturan pokok. Mereka sengaja membuat UUD yang "supel atau elastik sifatnya". Dikemukakannya lebih lanjut bahwa mereka percaya UUD akan tahan lama tidak akan lekas usang dan ketinggalan jaman.
Tujuh prinsip tersebut sebagai kaidah untuk membangun sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945. Dalam kerangka studi Hukum Tata Negara khasanah ini perlu dijadikan paradigma dalam mempelajari aspek yuridis konstitusional sistem dan arah mekanisme pemerintahan negara.
Demokrasi Pancasila merupakan sistem demokrasi yang secara yuridis konstitusional di atur dalam UUD 145, merupakan model ideal demokrasi yang akan ditumbuhkembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila.
Daftar Pustaka
  • Arbi Sanit. (1981). Sistem Politik Indonesia Kestabilan peta Kekuatan Politik dan Pembangunan. Jakarta: Rajawali.
  • David E. After. (1997). Pengantar Analisis Politik. Jakarta: Rajawali.
  • Easton, David. (1971). A System Analysis of Political Life. New York, London, Sydney: John Wiley & Sons Inc.
  • Jimly Asshidiqie. (2005). Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia 2005.
  • ____________. Hukum Acara Pengujian Undang-undang. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI.
  • Kranenburg. (1955). Ilmu Negara Umum. Terjemahan, Mr. Tk. B. Sabroedin.
  • Moch. Kusnardi, dkk.(1983). Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara UI.
  • M. Solly Lubis. (1993). Ketatanegaraan Republik Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
  • Mahkamah Konstitusi. (2005). Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
  • Satjipto Rahardjo. (1991). Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya.
  • Sjachran Basah. (1987). Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan). Bandung: Alumni.
  • Suchino. (1983). Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.
  • Suwarma Almuchtar. (1999). Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung: Epsilon.
  • . (1999). Pengantar Studi Hukum Tata Negara. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.
  • . (2000). Pengantar Studi Sistem Politik. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.
  • . (2001). Revitalisasi Pendidikan Demokrasi dan Ilmu Hukum Tata Negara, Pengukuhan Guru Besar. Bandung: UPI.
  • Strong, CFP. (1960). Modern Political (Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing From). London: Sidgwick & Jackson Ltd.
  • Padno Wahyono. (1984). Pengantar Himpunan ketatanegaraan di Indonesia, Jakarta: Galia Indonesia.


MODUL 3: Lembaga Perwakilan Rakyat
Kegiatan Belajar 1: Landasan, Prinsip Pengembangan dan Pelaksanaan Sistem Persekolahan, dan Standar Kompetensi
Rangkuman

Lahirnya Parlemen di Inggris diawali dengan dibentuknya House of Lords, sebuah kumpulan kaum bangsawan yang dibentuk oleh Raja. Pada mulanya, lembaga ini lebih berfungsi sebagai "perantara" antara Raja dengan rakyat, terutama untuk keperluan pemungutan pajak. Terjadinya perselisihan antara Raja dengan kaum bangsawan (yang pada hakikatnya adalah para tuan tanah), mendorong kaum bangsawan untuk mencari dukungan kepada rakyat dan kaum menengah. Dalam perkembangannya kemudian, kedudukan dan peran rakyat dan kaum menengah ini melembaga menjadi House of Commons.
Sifat perwakilan dari sebuah perwakilan dibedakan menjadi 2, yaitu perwakilan politik dan perwakilan fungsional. Proses perwakilan politik pada umumnya ditempuh dengan melalui pemilihan umum, yaitu pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh rakyat. Proses perwakilan fungsional banyak dilakukan dengan cara pengangkatan, yang biasanya didasarkan atas pertimbangan keahlian atau kemampuan. Sifat perwakilan yang kedua tersebut dinilai oleh sementara ahli sebagai kurang demokratis.
Fungsi lembaga perwakilan yang pokok ada, yaitu fungsi legislatif dan fungsi pengawasan. Sementara itu mengenai macam atau bentuk lembaga perwakilan juga ada 2 macam, yaitu sistem 2 kamar (bicameral) dan sistem satu kamar (unicameral).
Kegiatan Belajar 2: Majelis Permusyawaratan Rakyat
Rangkuman

Menurut Aturan Peralihan Pasal IV UUD 1945, sebelum MPR, DPR, dan DPA terbentuk, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Dalam perkembangannya kemudian, berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No. X (iks) tanggal 16 Oktober 1945, sebelum MPR dan DPR terbentuk, Komite Nasional diserahi tugas legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara, serta tugas sehari-hari Komite Nasional tersebut dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja.
Sesuai dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 dan sebagai konsekuensi kembali ke UUD 1945, Presiden membentuk MPRS yang dituangkan dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Pada awal Orde Baru, berdasar Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966, MPRS tetap dipertahankan dan dinyatakan berkedudukan dan berfungsi sebagaimana MPR yang dimaksud dalam UUD 1945, setelah diadakan perombakan keanggotaannya. Pada masa Orde Baru, telah enam kali dibentuk/disusun keanggotaan MPR, setelah berlangsungnya pemilihan umum 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 sebagai bagian dari siklus lima tahunan dalam sistem ketatanegaraan Orde Baru.
Menurut Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, susunan MPR terdiri atas anggota DPR ditambah utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang. Pada masa Orde Baru, Undang-undang terakhir dimaksud adalah UU No. 5 Tahun 1995, antara lain menetapkan jumlah anggota MPR sebanyak 1000 orang. Pada era reformasi, undang-undang dimaksud adalah UU No. 4 Tahun 1999, yang antara lain menetapkan jumlah anggota MPR sebanyak 700 orang.
Kegiatan Belajar 3: Dewan Perwakilan Rakyat
Rangkuman

DPR merupakan lembaga negara yang sangat penting bagi setiap negara demokrasi karena merupakan lembaga penyalur aspirasi rakyat. Lembaga ini berfungsi sebagai lembaga legislatif (pembentuk Undang-undang) dan pengawas terhadap segala kebijakan Pemerintah. DPR di negara Republik Indonesia berdasar UUD 1945 mempunyai kedudukan yang kuat karena seluruh anggotanya merangkap sebagai anggota MPR.
Keanggotaan DPR sebagian besar diisi dengan cara dipilih lewat pemilihan umum dan ada sebagian yang diangkat. Pada masa Orde Baru jumlah anggota DPR sebanyak 500 orang, semula terdiri dari 400 orang dipilih dan 100 orang diangkat dari ABRI, kemudian berubah menjadi 425 orang dipilih dan 75 orang diangkat adalah wakil dari ABRI. Berdasar undang-undang terbaru tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, yakni UU No. 4 Tahun 1999, jumlah anggota DPR hasil pemilihan umum 1999 di era reformasi dinyatakan pada Pasal II sebanyak 500 orang, terdiri dari 462 orang dipilih dan 38 orang diangkat dari ABRI.
Dilihat dari sejarahnya, pada masa awal kemerdekaan, sebelum terbentuk MPR dan DPR, tugas kedua lembaga negara ini dijalankan oleh Komite Nasional, yang sehari-harinya dijalankan oleh Badan Pekerja Komite Nasional. Pada masa RIS yang hanya delapan bulan, menurut Konstitusi RIS, anggota DPR RIS berjumlah 150 orang yang terdiri dari 50 orang dari negara bagian RI dan 100 orang dari negara-negara bagian lainnya. Pada masa berlakunya UUDS 1950, pemilihan umum 1955 menghasilkan DPR yang beranggotakan 272 orang. Walaupun kemudian, dibubarkan oleh Presiden tahun 1960. Selanjutnya, Presiden membentuk DPR GR, yakni DPR di masa Demokrasi Terpimpin. Lembaga ini dipertahankan di masa awal Orde Baru meskipun keanggotaannya mengalami perombakan hingga terbentuknya DPR hasil pemilihan umum. DPR hasil pemilihan umum di masa Orde Baru terbentuk dari hasil pemilihan umum tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilihan umum berikutnya menurut agenda Orde Baru akan berlangsung pada tahun 2002, namun sesuai dengan tuntutan reformasi dimajukan pada tahun 1999. Dengan demikian, akan menghasilkan DPR baru.
Kegiatan Belajar 4: Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Rangkuman

DPD merupakan lembaga negara yang penting bagi negara Indonesia karena merupakan lembaga penyalur aspirasi rakyat di daerah-daerah provinsi dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Lembaga ini berfungsi sebagai pengusul, dalam pembahasan dan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu, serta sebagai pengawas atas pelaksanaan undang-undang tertentu.
Keanggotaan DPR tidak lebih dari 1/3 (satu pertiga) jumlah anggota DPR yang dipilih melalui Pemilu. Wakil setiap provinsi yang duduk sebagai anggota DPD berjumlah masing-masing 4 (empat) orang. Pada masa Reformasi jumlah anggota DPR sebanyak 128 orang dari 32 provinsi.
Alat kelengkapan DPD terdiri atas berikut ini.
  1. Pimpinan DPD.
  2. Panitia Ad Hoc (PAH).
  3. Badan Kehormatan.
  4. Panitia Musyawarah (Panmus).
  5. Panitia Perancang Undang-undang (PPUU).
  6. Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT).
  7. Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Parlemen (PKSALP).
Daftar Pustaka
  • Alfian. (1990). Pembangunan Politik di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
  • Gaffar, Affan. (1992). Pemilu dan Lembaga Perwakilan Dalam Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: Jurusan Hukum Tata Negara UII.
  • Sanit, Arbi. (1981). Perwakilan Politik Indonesia. Jakarta: Rajawali.
  • Saragih, Bintan R. (1998). Lembaga Perwakilan Pemilihan Umum di Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama.
  • Surbakti, Ramlan. (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widyasarana.
  • www.ideaindo.or.id


MODUL 4: Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia
Kegiatan Belajar 1: Sistem Pemerintahan Negara RI Berdasar UUD 1945 (Kurun Waktu I), Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 (Kurun Waktu II), dan UUD 1945 sesudah Perubahan
Rangkuman

Sistem pemerintahan negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah Sistem Pemerintahan Presidensial (Sistem Kabinet Presidensial), yang bertanggung jawab terhadap jalannya pemerintahan adalah Presiden. Menteri-menteri sebagai pembantu Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Presiden adalah Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dan bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dalam kurun waktu I berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 telah terjadi "perubahan praktik ketatanegaraan" Republik Indonesia tanpa mengubah ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan tersebut ialah dengan keluarnya Maklumat Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 tersebut terjadi perubahan dari sistem pemerintahan Presidensial (Sistem Kabinet Presidensial) menjadi sistem pemerintahan Parlementer (Sistem Kabinet Parlementer).
Pada waktu berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara penyelenggaraan pemerintahan negara menganut sistem pemerintahan Kabinet Parlementer (Sistem Pertanggungjawaban Menteri). Sistem Kabinet Parlementer pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat belum berjalan sebagaimana mestinya, sebab belum terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, sedangkan pada waktu berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara, Sistem Kabinet Parlementer baru berjalan sebagaimana mestinya, setelah terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan pemilihan umum tahun 1955.
Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem pemerintahan Negara yang dianut kembali berdasar pada Undang-Undang Dasar 1945, yakni berdasar pada sistem pemerintahan Presidensial. Sistem pemerintahan berdasar Undang-Undang Dasar 1945 kurun waktu II ini, dapat dibedakan menjadi 3 masa, yaitu berikut ini.
  1. Masa Orde Lama/Demokrasi Terpimpin (5 Juli 1959 - 11 Maret 1966), dalam praktik sistem pemerintahan Negara Presidensial belum sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sistem pemerintahan Presidensial dijalankan dengan berdasar Demokrasi Terpimpin, semua kebijakan atas kehendak atau didominasi oleh Pemimpin sehingga terjadi penyimpangan-penyimpangan atau Penyelewengan-penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan Pemimpin dalam hal ini oleh Presiden.
  2. Masa Orde Baru/Demokrasi Pancasila (11 Maret 1966 - 21 Mei 1998), penyelenggaraan pemerintahan negara dengan sistem pemerintahan Presidensial dengan berdasar pada Demokrasi Pancasila pada awal pemerintahan Orde Baru mengadakan koreksi total atas penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama. Dengan demikian, sistem pemerintahan presidensial sudah dilaksanakan sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi dalam praktiknya Presiden Soeharto selama berkuasa kurang lebih 32 tahun cenderung melakukan KKN. Atas lainnya, memaksa Presiden Soeharto turun dari jabatannya, dan akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden, dan melimpahkan kepada Wakil Presiden, yakni B. J. Habibie sebagai Presiden Baru.
  3. Masa Orde Reformasi (21 Mei 1998 sampai sekarang), penyelenggaraan pemerintahan masih tetap berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, yakni menganut sistem pemerintahan presidensial. Namun, dalam pelaksanaannya dilakukan secara kristis (reformis) artinya peraturan perundangan yang tidak berjiwa reformis diubah/diganti. Sistem Presidensial ini lebih dipertegas di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesudah Perubahan. Di samping itu, dianut sistem pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara yang utama dengan prinsip checks and balances
Kegiatan Belajar 2: Lembaga-lembaga Negara Berdasar UUD 1945 Sebelum Perubahan, Konstitusi Indonesia Serikat dan UUD Sementara, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesudah Perubahan
Rangkuman

Istilah Lembaga-lembaga Negara tidak diketemukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 melainkan ditentukan dalam Ketetapan MPR No. III/ MPR/1978. Berbeda dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara, istilah Lembaga-lembaga Negara tersebut disebut Alat-alat Perlengkapan Negara.
Adapun mengenai Lembaga-lembaga Negara menurut Undang-Undang Dasar Jo. Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tersebut adalah berikut ini.
  1. Lembaga Tertinggi Negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  2. Lembaga Tinggi Negara, yaitu:
    1. Presiden dan Wakil Presiden;
    2. Dewan Pertimbangan Agung;
    3. Dewan Perwakilan Rakyat;
    4. Badan Pemeriksa Keuangan;
    5. Mahkamah Agung.
Berbeda dengan Lembaga-lembaga Negara berdasar Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara. Menurut Konstitusi RIS maupun Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesudah Perubahan, Lembaga-lembaga Negara yang dimaksud adalah Alat-alat Perlengkapan federal Republik Indonesia Serikat ialah berikut ini.
  1. Presiden.
  2. Menteri-menteri.
  3. Senat.
  4. Dewan Perwakilan Rakyat.
  5. Mahkamah Agung Indonesia.
Dewan Pengawas Keuangan, (Bab 11 pada Ketentuan Umum Konstitusi Republik Indonesia Serikat).
Adapun Alat-alat perlengkapan Negara menurut Undang-Undang Dasar Sementara, sebagai berikut.
  1. Presiden.
  2. Menteri-menteri.
  3. Dewan Perwakilan Rakyat.
  4. Mahkamah Agung.
  5. Dewan Pengawas Keuangan, (Bab 11 pada Ketentuan Umum, Pasal 44 Undang-Undang Dasar Sementara).
Apabila ditelaah atau dibandingkan dari susunan Lembaga-lembaga Negara atau Alat-alat Perlengkapan Negara berdasar ketiga Undang-Undang Dasar tersebut di atas, terdapat persamaan dan perbedaan yang prinsip di antara Lembaga-lembaga Negara atau Alat-alat Perlengkapan Negara tersebut. Persamaan dan perbedaan tersebut baik mengenai penyebutan dalam susunan Lembaga-lembaga Negara atau Alat-alat Perlengkapan Negara dari ketiga UUD tersebut.
Selanjutnya, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesudah Perubahan, lembaga-lembaga negara yang memegang kekuasaan, terdiri dari berikut ini.
  1. Dewan Perwakilan Rakyat yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
  2. Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan.
  3. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang memegang kekuasaan kehakiman.
Kemudian, lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, terdiri dari berikut ini.
  1. Lembaga-lembaga Pusat: Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Badan Pengawas Keuangan, Komisi Pemilihan Umum, Bank Sentral, Dewan Pertimbangan, Kementerian Negara, TNI/POLRI.
  2. Lembaga-lembaga daerah, terdiri: Pemerintah Daerah Provinsi, yakni Gubernur dan DPRD, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yakni Bupati/Walikota dan Perwakilan BPK Provinsi, Lingkungan peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan peradilan militer dan lingkungan Peradilan tata Usaha Negara.
Apabila ditelaah atau dibandingkan dari susunan lembaga-lembaga negara atau alat-alat perlengkapan Negara berdasar keempat UUD tersebut di atas, terdapat persamaan dan perbedaan yang prinsip di antara lembaga-lembaga negara tersebut. Persamaan dan perbedaan tersebut baik mengenai penyebutan dalam susunan lembaga-lembaga negara atau alat-alat perlengkapan negara dari keempat UUD tersebut maupun mengenai tugas dan kewajiban dari lembaga-lembaga negara atau alat-alat perlengkapan negara dari keempat UUD tersebut.
Daftar Pustaka
  • Abdul Mukthie Fadjar. (2006). Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
  • A.G. Pringgodigdo. (1969). Perubahan Kabinet Presidensial Menjadi Kabinet Parlementer. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
  • H.A.K. Pringgodigdo. (1981). Tiga Undang-Undang Dasar. Jakarta: Pembangunan.
  • Jimly Asshiddiqie. (2006). Pengantar Ilmu Hukum tata Negara. Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
  • Joeniarto. (1990). Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Muhammad Yamin. (1959). Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jilid Pertama. Jakarta. Yayasan Prapantja.
  • Sri Soemantri, (1976), Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN. Bandung: Tarsito.
  • ______. (1986). Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945. Bandung: Alumni.
  • S. Toto Pandoyo. (1983). Ulasan terhadap Beberapa Ketentuan Undang- Undang Dasar 1945 Proklamasi Kemerdekaan dan Kekuasaan MPR. Yogyakarta: Liberty.
  • Sekretariat Jenderal MPR RI. (2006). Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
  • ______. (2006). Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
  • Anonim. (1998). Ketetapan-ketetapan Sidang Istimewa MPR 1998. Jakarta: Sinar Grafika.


MODUL 5: Pemilihan Umum
Kegiatan Belajar 1:Hubungan antara Pemilu dan Demokrasi
Rangkuman

Demokrasi pada masa modern tak mungkin dilakukan secara langsung oleh seluruh rakyat, melainkan harus dilakukan dengan sistem perwakilan (secara tak langsung). Pemilihan umum dimaksudkan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang mereka percaya untuk mewakili di lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Wakil-wakil rakyat ini harus mampu menyuarakan aspirasi rakyat sehingga keputusan yang diambil tentang penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan keinginan rakyat.
Dengan demikian, pemilihan umum merupakan sarana mutlak untuk mewujudkan pemerintahan yang berdasar demokrasi.
Suatu pemerintahan dapat disebut sebagai pemerintahan yang demokratis jika memenuhi 3 standar penampilan politik, yaitu partisipasi rakyat dalam pemilihan umum, pemerintahan yang stabil, dan terjaminnya tertib politik. Sementara itu, mengenai keterikatan wakil rakyat yang mewakili dengan rakyat yang diwakili dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu tipe perwakilan delegasi (mandat) dan tipe perwakilan truste (independen).
Kehadiran partai-partai politik merupakan wadah penyaluran aspirasi politik rakyat, yang dalam kenyataannya terbagi dalam berbagai kelompok aspirasi. Secara nyata, partai politik inilah yang akan menampung keanekaragaman kelompok dengan aspirasinya itu. Dengan demikian, partai politik juga merupakan sarana penting dalam sistem demokrasi. Mengenai sistem kepartaian, dikenal adanya sistem partai tunggal, dwi-partai, dan multipartai.
Kegiatan Belajar 2:Sistem Pemilihan Umum
Rangkuman

Sistem pemilihan umum dibedakan menjadi 2, yaitu sistem mekanis dan sistem organis. Dalam sistem mekanis, partai-partai politik mempunyai peranan penting dan berkembang. Dalam sistem organis, yang berperan adalah persekutuan-persekutuan hidup. Lembaga-lembaga inilah yang mengutus wakil-wakil ke dalam lembaga perwakilan rakyat, yang sesungguhnya lebih merupakan lembaga kepentingan. Dengan demikian, dari segi yang sesungguhnya lebih merupakan lembaga kepentingan. Dengan demikian, dari segi legitimasi rakyat, kedudukan lembaga perwakilan dalam sistem organis ini tidak kuat.
Sistem pemilihan mekanis dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu pemilihan dengan sistem distrik dan sistem proporsional. Dalam sistem distrik, wilayah negara dibagi menjadi distrik-distrik, dan setiap distrik diwakili oleh satu orang wakil memperoleh bagian satu kursi di lembaga perwakilan rakyat. Kursi di setiap distrik ini diperebutkan oleh caloncalon/partai-partai politik berdasar suara terbanyak yang diperoleh. Dalam sistem proporsional, kursi-kursi yang tersedia di setiap daerah pemilihan dibagi oleh partai-partai politik, sesuai dengan persentase jumlah suara yang diperolehnya.
Kelebihan sistem distrik, antara lain hubungan antara wakil rakyat yang terpilih dengan rakyat lebih dekat, kepentingan distrik lebih diperhatikan, dan kecenderungan membentuk partai baru dapat dibendung sebab setiap distrik hanya tersedia satu kursi. Kelemahannya, antara lain kurang memperhitungkan partai kecil, banyak suara yang hilang dan adanya kemungkinan untuk lebih menonjolkan kepentingan distriknya. Adapun kelebihan sistem proporsional, antara lain tak ada suara yang hilang/tidak diperhitungkan dan lebih representatif karena jumlah kursi yang diperoleh seimbang dengan persentase dukungan suara yang diperoleh dalam pemilihan umum. Kelemahannya, antara lain kurang eratnya hubungan antara wakil rakyat dengan rakyat, pimpinan partai sangat menentukan dalam menentukan calon wakil rakyat, dan kemungkinan berdirinya partai-partai baru lebih terbuka.
Kegiatan Belajar 3:Pemilihan umum di Indonesia
Rangkuman

Pemilihan umum pertama di Indonesia diselenggarakan pada tahun 1955 pada masa berlakunya UUDS 1950, guna memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilihan Umum 1955 diikuti oleh 28 partai peserta pemilu, yang terdiri dari 27 partai politik dan satu peserta perorangan. Pemilihan umum tersebut menghasilkan "empat partai besar" yaitu Partai Masyumi, PNI, NU, dan PKI.
Pemilihan umum selanjutnya dilaksanakan di masa Orde Baru pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilihan umum 1971 diikuti oleh 10 organisasi peserta pemilihan umum. Setelah diadakan penyederhanaan sistem kepartaian, pemilihan umum selanjutnya diikuti oleh 3 organisasi peserta pemilihan umum, sesuai dengan nomor urutnya adalah PPP, Golkar, dan PDI. Sepanjang masa Orde Baru, pemilihan umum menghasilkan kemenangan mutlak Golkar.
Pemilihan umum selanjutnya yang menurut siklus lima tahunan Orde Baru akan diselenggarakan pada tahun 2002, sesuai dengan tuntutan era reformasi diajukan pada tahun 1999. Dalam iklim kebebasan berpolitik, pemilihan umum 1999 ini diikuti oleh 48 partai politik Di samping asas langsung, umum, bebas, dan rahasia yang sudah ditetapkan pada masa Orde Baru, pada pemilihan umum era reformasi ini ditambah dengan asas jujur dan adil. Perbedaannya dengan masa Orde Baru, penyelenggaraan pemilihan umum 1999 lebih banyak melibatkan unsur-unsur masyarakat luas, dan pada saat Pemilu 2004 pelaksanaannya dipisah antara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan DPD yang dilaksanakan secara langsung.
Daftar Pustaka
  • Budiharjo, Miriam. (1987). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
  • _________. (1992). Sistem Pemilu dan Perkembangan Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
  • LidJe, William. (1994). Pemilu-Pemilu Orde Baru (Pasang Surut Kekuatan Politik). Jakarta: LP3ES.
  • Saragih, Bintan R (1988). Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama.
  • Surbakti, Ramlan. (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Pramata.


MODUL 6: Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
Kegiatan Belajar 1: Demokrasi di Indonesia Berdasarkan UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, UUD 1945 Sesudah Perubahan dan Implementasinya dari Masa UUD 1945 (Kurun Waktu I) sampai Sekarang
Rangkuman

Lahirnya sistem pemerintahan demokrasi adalah untuk membatasi kekuasaan/penguasa yang mutlak atau sewenang-wenang. Pembatasan dapat dilakukan baik dengan suatu konstitusi maupun dengan suatu hukum kebiasaan. Apabila pembatasan kekuasaan penguasa yang sewenang-wenang terhadap warga negaranya dengan suatu konstitusi disebut demokrasi konstitusional.
Menurut Miriam Budiardjo ada bermacam-macam istilah demokrasi, antara lain demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi rakyat, demokrasi liberal, demokrasi Pancasila, dan lain sebagainya. Akan tetapi, dari sekian banyak aliran itu hanya ada dua kelompok aliran yang paling penting, yaitu demokrasi konstitusional dan demokrasi komunis.
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 pembatasan terhadap kekuasaan penguasa yang sewenang-wenang tersebut dirumuskan secara yuridis yang disebut Negara Hukum (rechtsstaat) oleh para ahli Eropa Kontinental, dan Rule of Law oleh para ahli Anglo-Saxon. Keduanya mempunyai tujuan yang sama bahwa dalam negara yang berdaulat adalah hukum.
Implementasi demokrasi di Indonesia dari masa UUD 1945 Kurun Waktu I (18 Agustus 1945 sampai dengan sekarang) dapat dibedakan sebagai berikut.
  1. Pada masa UUD 1945 kurun waktu I (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949), dilaksanakan demokrasi dengan sistem pemerintahan presidensial mengalami perubahan dengan Maklumat Pemerintah 14 November 1945 menjadi demokrasi dengan sistem pemerintahan parlementer.
  2. Pada masa Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950) dan UUDS 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959), dilaksanakan demokrasi dengan sistem pemerintahan parlementer/ demokrasi liberal.
  3. Pada masa UUD 1945 kurun waktu II (5 Juli 1945-sekarang), meliputi 3 masa, yaitu berikut ini.
    1. Masa Orde Lama (5 Juli 1959-11 Maret 1966), dilaksanakan demokrasi terpimpin dengan berbagai penyimpangan atau penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 945.
    2. Masa Orde Baru (11 Maret-21 Mei 1998), dilaksanakan demokrasi Pancasila. Pada awal Orde Baru dalam rangka melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen melakukan tindakan koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan atau penyelewengan terhadap pelaksanaan demokrasi terpimpin pada masa orde lama. Namun, pada akhir kepemimpinan Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan atau penyelewengan terhadap pelaksanaan demokrasi Pancasila yang berakibat turunnya Presiden Soeharto. Hasil Sidang Umum MPR Maret 1998 (Presiden Soeharto) yang melimpahkan wewenangnya kepada wakil Presiden B.J. Habibie (Presiden Baru) pada tanggal 21 Mei 1998.
    3. Orde Reformasi (21 Mei 1998 sekarang), demokrasi dalam proses atau demokratisasi yang oleh para ahli disebut demokrasi semu (pseudo democracy), demokrasi liberal yang belum terkonsolidasi (unconsolidated liberal democracy).
Demokrasi sekarang ini, ada yang menyebut sebagai demokrasi tanpa label atau transisi menuju demokrasi. Untuk tegaknya demokrasi di Indonesia selain melakukan perubahan UUD 1945, juga telah dilakukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang politik. Implementasi demokrasi Pancasila pada era reformasi ini, telah banyak memberikan ruang gerak kepada partai politik maupun lembaga negara (DPR) untuk mengawasi pemerintahan secara kritis dan dibenarkan untuk berunjuk rasa, beroposisi maupun optimalisasi hak-hak DPR seperti hak bertanya, interpelasi, inisiatif, dan amendemen.
Kegiatan Belajar 2: Hak Asasi Manusia Berdasarkan UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950,UUD Tahun 1945 sesudah Perubahan dan Implementasinya dari Masa UUD 1945 (Kurun Waktu I) sampai Sekarang
Rangkuman

Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia semenjak ia dilahirkan dan senantiasa melekat pada dirinya sendiri sebagai wujud pemberian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam implementasinya selalu diperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.
Ditinjau dari sudut historis timbulnya hak asasi manusia bertujuan untuk membatasi kekuasaan penguasa yang bersifat absolut.
Hak asasi manusia berdasar UUD 1945 (UUD Proklamasi) terdapat dalam Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 1945. Dalam Pembukaan UUD 1945, tampak jelas banyak menyebutkan tentang hak-hak asasi manusia. Hal ini dapat dilihat dalam alinea pertama, pada hakikatnya merupakan pengakuan akan adanya kebebasan untuk merdeka. Di samping itu, pengakuan akan kemanusiaan merupakan inti dari hak-hak asasi manusia. Kemudian alinea kedua, menyatakan bahwa Indonesia negara yang adil. Adil di sini maksudnya adalah negara yang dapat menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban baik dalam hubungan antara lembaga-lembaga negara, antara warga negara dengan negara maupun antara warga negara dengan warga negara atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Selanjutnya, alinea keempat, menunjukkan adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi dalam segala bidang kehidupan, yaitu ekonomi, hukum politik, sosial dan budaya yang dijabarkan dalam pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945 beserta Penjelasannya.
Dalam Batang Tubuh UUD 1945, dapat diketahui bahwa hak-hak asasi manusia dirumuskan dalam 8 pasal, yakni Pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, dan tidak diatur secara terperinci sebagaimana perumusan hak asasi manusia dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Hal ini bukan berarti hak asasi manusia dalam UUD 1945 bertentangan dengan rumusan hak asasi dalam Universal Declaration of Human Rights 1948. Walaupun rumusan hak asasi dalam UUD 1945 tersebut disusun sebelum keluarnya Universal Declaration of Human Rights, tetapi mempunyai nilai lebih karena pemuatan hak-hak asasi manusia tersebut merupakan hasil pikir Bangsa Indonesia sendiri. Lain halnya dengan rumusan hak asasi manusia dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 yang dipengaruhi oleh rumusan hak-hak asasi dalam Universal Declaration of Human Rights oleh Majelis Umum PBB. Selanjutnya, pada era reformasi perumusan HAM dalam diperluas dalam Perubahan Kedua UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sejumlah 10 pasal, yakni dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J.
Walaupun sudah banyak peraturan perundang-undangan yang merupakan instrumen dari Pasal-pasal UUD 1945 yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, tetapi dalam implementasinya dari masa UUD 1945 kurun waktu I sampai sekarang masih sangat memprihatinkan belum sesuai dengan yang diharapkan. Dalam kenyataan banyak terjadi pelanggaran terhadap hak asasi baik yang dilakukan oleh aparat negara maupun masyarakat.
Daftar Pustaka
  • Abdul Mukthie Fadjar. (2006). Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
  • Bagir Manan. (1996). Kedaulatan Rakyat, Hak asasi manusia dan Negara Hukum. Jakarta: Gaya Media Pratama.
  • Bibit Suprapto. (1985). Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
  • Frans Magnis Suseno. (1996). Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia.
  • Ismail Sunny. (1977). Mekanisme Demokrasi Pancasila. Jakarta: Aksara Baru.
  • James W. Nickel. (1996). Hak Asasi Manusia, Making Sense of Human Rights Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka.
  • Jimly Asshiddqie. (2006). Pengantar Ilmu hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
  • KOMNAS HAM. (1997). Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka.
  • Kuntjoro Poerbopranoto. (1979). Hak Asasi Manusia dan Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • _______. (1987). Sistem Pemerintahan Demokrasi. Bandung: Eresco.
  • Miriam Budiardjo. (1983). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
  • Muhammad Yamin. (1959). Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Djilid Pertama. Jakarta: Yayasan Prapantja.
  • Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, (1983). Pengantar Hukum Tata Negara. Cetakan kelima. Jakarta: Pusat Studi Hukum tata Negara UI Fakultas Hukum dan sinar Bhakti.
  • Sekretariat Jenderal MPR RI. (2006). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat jenderal MPR RI
  • ________. (2006). Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
  • S. Toto Pandoyo. (1981). Ulasan terhadap Beberapa Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Sistem Politik dan Perkembangan Kehidupan Demokrasi. Yogyakarta: Liberty.
  • Siswono Yudohusodo. (1999). Peran Pendidikan Tinggi dalam Demokratisasi. Dalam Jawa Pos tanggal 22 April 1999, hal. 4.
  • Sri Hartini. (2005). Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Praktik Penyelenggaraan Negara di Indonesia dalam Era Globalisasi. Dalam Jurnal Civics Media Kajian Kewarganegaraan. Volume 2, Nomor 1, Juni 2005. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FISE UNY
  • T. Mulya Lubis. (1993). Hak-Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


MODUL 7: Hubungan Antarlembaga Tinggi Negara dan Pemerintahan Daerah
Kegiatan Belajar 1: Hubungan antarlembaga Tinggi Negara
Rangkuman

Dalam kehidupan suatu Negara untuk mencapai tujuannya diperlukan adanya perangkat pemerintah, yakni lembaga-lembaga Negara baik di pusat maupun di daerah. Tujuan negara akan tercapai apabila antara lembaga-lembaga negara terdapat hubungan kerja yang baik dan bekerja sesuai kedudukan, fungsi dan wewenang masing-masing lembaga tersebut.
Berbeda dengan negara yang menganut Trias Politica, Negara Indonesia setelah perubahan UUD yang menganut kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Sehingga tidak ada sebutan lagi lembaga tertinggi seperti MPR sebagaimana UUD yang belum diubah. Di samping kedaulatan rakyat itu dilakukan secara langsung oleh rakyat dalam pemilu, sebagian dilaksanakan oleh lembaga tinggi Negara (Presiden dan Wakil Presiden; DPR; DPD; MPR; MK; MA, dan BPK).
Hubungan antarlembaga tinggi Negara tersebut sesuai dengan prinsip perubahan UUD 1945, yakni mempertegas sistem presidensial dan dianutnya pemisahan cabang-cabang kekuasaan yang utama (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dengan prinsip saling mengawasi (checks and balances).
Kegiatan Belajar 2: Pemerintahan Daerah
Rangkuman

Mengingat Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang luas sehingga tidak memungkinkan segala urusan dapat diurus oleh Pemerintah Pusat yang berkedudukan di Ibu Kota Negara. Untuk penyelenggaraan pemerintahan Negara sampai ke pelosok tanah air, berdasar pada Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan RI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota, yang tiap-tiap provinsi dan kabupaten/kota itu mempunyai pemerintahan daerah diatur dengan undang-undang, yakni Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan Daerah diarahkan pada pelaksanaan asas otonomi yang seluas-luasnya dan tugas pembantuan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah diperlukan kerja sama antara alat perlengkapan Daerah/aparat Daerah yang dalam bekerjanya sesuai dengan kedudukan, tugas dan wewenang masing-masing.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah Daerah/Daerah Otonom dapat menggunakan sumber-sumber keuangan yang berasal dari sumber pendapatan Daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 157 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 meliputi berikut ini.
  1. Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari berikut ini.
    1. Hasil Pajak Daerah.
    2. Hasil Retribusi Daerah.
    3. Hasil Pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
    4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
  2. Dana perimbangan.
  3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Daftar Pustaka
  • Abdul Mukthie Fadjar. (2006). Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI
  • Bagir Manan. (1994). Hubungan antara Pusat dan Daerah menurut UUD 1945. Jakarta: Sinar Harapan.
  • Busro dan Abu Daud Busroh. (1984). Hukum Tata Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia.
  • Dahlan Thaib. (1994). DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
  • Jimly Asshiddiqie. (2006). Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca-Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI.
  • ________. (2006) Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI
  • Joeniarto. (1967). Pemerintahan Lokal. Yogyakarta: Gadjah Mada.
  • Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih. (1983). Susunan Pembagian Kekuasaan menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Gramedia.
  • Soehino. (1980). Perkembangan Pemerintahan di Daerah. Yogyakarta: Liberty.
  • Sarundajang. (1996). Pemerintahan Daerah di Beberapa Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  • Sekretariat Jenderal MPR RI. (2006). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
  • _________. (2006). Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
  • Siswanto Sunarno. (2005). Hukum Pemerintahan Daerah. Jakarta: Sinar Grafika.
  • Sri Soemantri. (1986). Tentang Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1945. Bandung: Alumni.
  • _________. Undang-undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
  • _________. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.
  • _________. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bandung: Citra Umbara


MODUL 8: Kapita Selekta Kenegaraan
Kegiatan Belajar 1: Krisis dalam Berbagai Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Rangkuman

Kiranya dapat disimpulkan bahwa revitalisasi demokrasi perlu dilakukan untuk memperkuat nilai implementasi konstitusi, sedangkan untuk memperkuat fleksibilitas diperlukan mengokohkan epistemologis dari Hukum 'Fata Negara, hal ini diperlukan untuk memberikan dasar-dasar ilmiah bagi penafsiran atas konstitusi sehingga perubahan konstitusi baik dengan cara amendemen maupun melalui penafsiran atas konstitusi berada pada tataran wacana revitalisasi konstitusi karena terkontrol oleh teori-teori Hukum Tata Negara. Dengan demikian, tidak terlepas dari semangat penyelenggara negara dengan menempatkan konstitusi sarana integrasi bangsa berbasis etik religius, berwawasan kemajemukan berperspektif keterbukaan dalam dinamika perubahan. Dengan demikian, demokrasi yang dikembangkan adalah sebagaimana yang berkembang pada tradisi masyarakat madani yang dipandang tepat bagi kondisi masyarakat Indonesia yang religius. Demokrasi yang tidak memperkuat dengan pendidikan demokrasi, akan mempercepat kemerosotan demokrasi menjadi tirani, sedangkan demokratisasi yang tidak didukung oleh ilmu hukum tata negara prophetik memungkinkan demokrasi kehilangan kekuatan nilai sosial budaya dari kekuatan religiusitasnya. Implementasi konstitusi yang tidak didukung oleh epistemologi Hukum Tata Negara yang kokoh akan memperlemah nilai implementasinya.
Kebenaran ilmiah bukanlah kebenaran mutlak, akan tetapi yang kebenaran relatif bersifat alamiah terikat oleh ruang dari waktu dan terbuka untuk dikritisi guna memperkuat validitas ilmiahnya. Oleh karena itu, pendekatan etik religius merupakan tuntutan epistemologis untuk membangun Hukum Tata Negara yang prophentik syarat dengan nilai-nilai bukan bebas nilai. Sosok ilmu inilah yang akan mampu menjelaskan berbagai gejala dan masalah pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 berkait dengan nilai-nilai sosial budaya. Untuk memperkuat bahwa studi hukum tata negara tidak cukup menyelidiki pasal demi pasal dari undang-undang dasar, tetapi harus menyelidiki juga bagaimana praktiknya, dan bagaimana suasana kebatinannya, seperti dikemukakan dalam penjelasan.
Kegiatan Belajar 2: Arah Implementasi Konstitusi
Rangkuman

Kondisi tatanan hukum seperti ini, antara lain sebagai bukti dari keberhasilan pembentukan hukum dengan cara transfalasi hukum, yaitu yang dilakukan dengan cara memaksakan sistem hukum asing ke dalam sistem masyarakat kita pada masa penjajahan.
Mengedepankan hukum secara fungsional dalam era globalisasi sebagaimana tuntutan pada sistem politik modern, perlu mengembangkan paradigma dan teori hukum yang berdasarkan pada Pancasila sebagai rechtsidee. Strateginya tidak hanya pada saat mengonstruksi hukum, tetapi meliputi pula pada saat hukum itu berperan sebagai kekuatan sistem politik dengan memfungsionalkan lembaga politik secara optimal sesuai dengan semangat negara hukum yang demokratis berdasarkan pada UUD 1945.
Salah satu geniusitas dari UUD 1945, yang menyatakan Negara Indonesia adalah berdasarkan pada hukum (rechstaat) bukan kekuasaan semata (machtstaat). Indonesia "berdasarkan atas hukum", di mana hukum harus mengedepankan supremasi by the law memberikan landasan yuridis terhadap berbagai unsur dalam sistem politik.
Indonesia dalam perkembangannya mengalami 3 macam sistem; Sistem politik demokratik liberal parlementer, Sistem politik demokrasi terpimpin yang diidentikkan sebagai sistem kediktaktoran, Sistem politik demokrasi Pancasila, dan sistem politik era reformasi atau pasca-Orde Baru.
Secara konstitusional menurut UUD 1945 sistem politik yang dianut ialah sistem demokrasi mengingat di dalam UUD 1945 terkandung dalam Pembukaan kekuasaan di mana kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif didistribusikan kembali oleh MPR, yaitu kekuasaan legislatif kepada DPR bersama-sama Presiden, kekuasaan eksekutif kepada Presiden sebagai mandataris MPR dan kekuasaan yudikatif kepada Mahkamah Agung.
Kedaulatan hukum memberikan sumbangan pemikiran konseptual bagi pengembangan konsep negara hukum. Teori kedaulatan hukum lebih dahulu berkembang dari pada konsepsi negara hukum. Konsepsi negara hukum tumbuh dan berkembang atas dasar berkembangnya teori kedaulatan hukum.
Kegiatan Belajar 3: Reformasi dan Perubahan UUD 1945
Rangkuman

KKecepatan implementasi otonomi seluas-luasnya harus merupakan semangat penyelenggaraan "pemerintahan daerah" bukan "pemerintah di daerah", seperti selama ini dibangun dalam budaya sentralistik. Dengan demikian, pemberdayaan pemerintah daerah akan memperoleh dukungan secara luas dengan memberikan setiap daerah untuk membangun secara kreatif dan konstruksi sistem pemerintahan daerahnya. Oleh karena itu, tampaknya kreativitas keotonomian harus segera ditumbuhkan untuk segera ke luar dari struktur budaya politik sentralistik sehingga dapat meredam potensi disintegrasi bangsa secara dini.
UUD 1945 daya fleksibilitas bukan saja karena ada Pasal 37 yang mengatur tentang perubahan, tetapi juga dinyatakan sebagai hukum dasar tertulis, dalam pengertian dalam implementasinya masih didukung oleh konstitusi tidak tertulis. Dengan demikian, kelemahan yang terdapat dalam konstitusi tertulis dapat diimbangi dengan kekuatan dari hukum yang tidak tertulis yang tumbuh dalam praktik kehidupan bernegara aktualisasi dan fleksibilitas konstitusional dari UUD 1945 akan mudah dilaksanakan. Namun demikian, tentu saja ini merupakan wacana hukum tata negara yang memungkinkan untuk membangun teori hukum yang berbasis pada realitas empirik dan nilai-nilai konstitusional yang tumbuh dalam kerangka implementasi UUD 1945.
Amendemen dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 37 yang dilakukan oleh MPR dan hingga sekarang yang dianut berdasarkan teori amendemen yang dianut di negara Anglo Saxon, dengan menggunakan paradigma bahwa perubahan harus dilakukan pada batang tubuh tidak pada pembukaan. Kedua, pada pasal-pasal tertentu yang dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan bernegara. Ketiga, pasal-pasal yang diamendemenkan masih merupakan bagian dari UUD aslinya.
Daftar Pustaka
  • Arbi Sanit. (1981). Sistem Politik Indonesia Kestabilan peta Kekuatan Politik dan Pembangunan. Jakarta: Rajawali.
  • David E. After. (1997). Pengantar Analisis Politik. Jakarta: Rajawali.
  • Easton, David. (1971). A System Analysis of Political Life. New York-London, Sydney: John Wiley & Sons Inc.
  • Jimly Asshidiqie. (2005). Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia 2005. Hukum Acara Pengujian Undang-undang. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI.
  • Kranenburg. (1955). Ilmu Negara Umum. Terjemahan. Mr. Tk. B. Sabroedin.
  • Moch. Kusnardi, dkk.(1983). Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara UI.
  • M. Solly Lubis. (1993). Ketatanegaraan Republik Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
  • Mahkamah Konstitusi. (2005). Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
  • Satjipto Rahardjo. (1991). Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya.
  • Sjachran Basah. (1987). Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan). Bandung: Alumni.
  • Suchino. (1983). Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.
  • Suwarma AL Muchtar. (1999). Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung: Epsilon.
  • _________. (1999). Pengantar Studi Hukum Tata Negara. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.
  • _________. (2000). Pengantar Studi Sistem Politik. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.
  • _________. (2001). Revitalisasi Pendidikan Demokrasi dan Ilmu Hukum Tata Negara. Pengukuhan Guru Besar. Bandung: UPI.
  • Strong, CFP. (1960). Modern Political (Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing From). London: Sidgwick & Jackson Ltd.
  • Padmo Wahyono. (1984). Pengantar Himpunan Masalah Ketatanegaraan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.


MODUL 9: Materi dan Model Pembelajaran Hukum Tata Negara sebagai Pengalaman Belajar Pendidikan Kewarganegaraan
Kegiatan Belajar 1: Model Pembelajaran Hukum Tata Negara
Rangkuman

Dalam kurikulum Tahun 2006 materi hukum tata negara termasuk dalam bahasan materi mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan termasuk untuk tingkat SMA. Artinya, mata pelajaran tata negara tidak lagi merupakan mata pelajaran yang berdiri sendiri.
Rumusan materi dalam unsur-unsur proses pembelajaran berdasarkan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, antara lain meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran dan membuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar dan penilaian hasil belajar.
Materi HTN untuk PKn meliputi Pengertian sumber hukum tata negara adalah sesuatu yang dijadikan bahan penyusunan dan pengesahan dari pada hukum tata negara tersebut. Pada umumnya sumber hukum diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan kaidah hukum itu ada. Di samping hukum tata negara sebagai landasan mekanisme dalam ketatanegaraan yang mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 kedudukan sumber hukum tata negara dapat diartikan bahwa studi hukum tidak mungkin melepaskannya dari keharusan mempelajari sumber hukumnya karena dengan mempelajari sumber hukum tata negara kita dapat melihat kadar kekuatan dari pada hukum tersebut dan seandainya lemah sumbernya maka akan lemah pula kualitas keabsahan hukum tersebut.
Jenis sumber Hukum Tata Negara adalah terdapat 3 klasifikasi, meliputi berikut ini.
  1. Sumber hukum Tata Negara dalam arti materiil.
  2. Sumber hukum Tata Negara dalam arti Formal.
  3. Sumber Hukum Tata Negara menurut Ilmu Hukum Tata Negara.
Pendekatan belajar kontekstual dapat dapat diwujudkan, antara lain dengan metode-metode kooperatif; penemuan; inkuiri; interaktif; eksploratif; berpikir kritis dan pemecahan masalah yang berhubungan dengan praktik hukum tata negara
Penilaian dapat menggunakan model penilaian berdasarkan perbuatan (performance-based assessment) atau juga dikenal dengan penilaian autentik (authentic assessment)
Kewarganegaraan dapat menggunakan berbagai media meningkatkan hasil belajar, seperti slide, film, radio, televisi, dan komputer yang dilengkapi CD-ROOM dan hubungan internet dapat dimanfaatkan untuk mengakses berbagai informasi tentang isu-isu internasional dan aktivitas kewarganegaraan di negara-negara lain.
Kegiatan Belajar 2: Konsep Hukum Tata Negara dalam Proses Pembelajaran
Rangkuman

Dalam pembelajaran tata negara dalam pendidikan kewarganegaraan tentang Hakikat bangsa dan unsur-unsur terbentuknya negara meliputi berikut ini.
  1. Pengertian bangsa menurut beberapa ahli.
  2. Unsur-unsur terbentuknya suatu bangsa.
  3. Asal mula terjadinya Negara.
  4. Unsur-unsur terbentuknya suatu Negara.
Model pembelajaran Yurisprudensi Inkuiri, yaitu suatu pendekatan yang dipandang tepat dalam membelajarkan konsep hukum tata negara sebagai salah satu materi PKn. Termasuk dalam proses pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.
Format Rencana Pelaksanaan Pembelajaran meliputi berikut ini.
  1. Mata Pelajaran.
  2. Kelas/Semester.
  3. Pertemuan ke ….
  4. Alokasi Waktu.
  5. Standar Kompetensi.
  6. Kompetensi Dasar.
  7. Indikator.
    1. Tujuan Pembelajaran.
    2. Hakikat bangsa dan unsur-unsur terbentuknya negara
    3. Metode Pembelajaran.
    4. Langkah-langkah Pembelajaran.
      1. Kegiatan awal.
      2. Kegiatan inti.
      3. Kegiatan Penutup.
      4. Alat dan sumber belajar.
      5. Penilaian.
      6. Instrumen Penilaian.
Daftar Pustaka
  • Roestikah. (1991). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta
  • Kurikulum 2004 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pedoman Umum Pengembangan Silabus Berbasis Kompetensi Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jakarta: Binatama Raya
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas
  • Peraturan Mendiknas No. 22 No. 23 dan No. 24 Tahun 2006. (2006). Standar Isi Dan Standar Kompetensi Lulusan Tingkat Sekolah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Binatama Raya
  • Suryono (http://www.pikiran-rakyat.com).
  • C.S.T Kansil. (1983). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
  • Udin. S Winataputra, dkk. (2005). GBPP Kompetensi Pedagogik dan Profesional Bidang Studi Tata Negara. Jakarta: Depdiknas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Sahabat Sangat Berarti Bagi Blog ini
Mohon cantumkan url blog/twitter/Open ID/facebook sahabat
Please...Tinggalkan Komentar Sahabat dan
Beri Tanda di salah satu pilihan pendapat

Terima Kasih Atas Kunjungannya

Jika Sahabat MErasa SUka dGn BloG ini

AddThis

Bookmark and Share

ASR

Search Engine

Postingan Terpopuler

BERBAGI UNTUK SAHABAT

Jika sahabat ingin Punya Web...klik disini Jika sahabat ingin Punya Blog... klik disini