(___The GoLdeN^^FloWer__**BiLLy Tama**) BELAJAR BERSAMA: Ringkasan
Belajar Bersama
bigoes tama:

Kamis, 05 Agustus 2010

Ringkasan

SEMOGA BERMANFAAT UNTUK KITA SEMUA
SALAM: BILLY GUSTAMA

Pertanyaan :- Apakah BUMN dapat dipailitkan? - Aspek-aspek hukum apa saja yang perlu di perhatikan atau terkait pada peristiwa kepailitan BUMN?
Jawaban :
Pada dasarnya UU Kepailitan tidak membedakan kepailitan berdasarkan kepemilikian. UU Kepailitan hanya mendeskripsikan debitur yang dapat dipailitkan menjadi dua, yaitu orang perorangan (pribadi), dan badan hukum. Artinya, baik orang perorangan, maupun badan hukum dapat dinyatakan pailit.


Hal ini terlihat dari ps. 2 ayat (5) UU Kepailitan yang menyebutkan bahwa “Dalam hal debitur merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya” .
Selain itu, dalam ps. 3 ayat (1) UU Kepailitan disebutkan bahwa “Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitur yang menikah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya”
Kedua pasal tersebut dijadikan dasar, siapa saja (debitur) yang dapat dipailitkan.

Namun tidak dengan sendirinya semua jenis pihak dapat dipailitkan, harus diperhatikan kualifikasi dan kapasitas pihak tersebut. Secara logis kepailitan membutuhkan pihak yang cakap melakukan tindakan keperdataan, seperti kapasitas untuk memiliki aset, membuat perjanjian dengan pihak ketiga; sehingga dapat dikatakan bahwa yang dapat dipailitkan hanyalah pihak yang memenuhi syarat sebagai subyek hukum.

Hal ini karena melihat sifat kepailitan yang merupakan sita umum terhadap harta kekayaaan debitur, maka sifat tersebut menuntut adanya kepemilikan mutlak atas harta yang sedianya akan dijadikan budel pailit. Tidak ada artinya memailitkan suatu entitas yang tidak memiliki hak milik atau kapasitas dalam lalu lintas keperdataan, karena tidak ada apapun yang dapat disita sebagai sita umum.

Sehingga untuk kepailitan suatu persekutuan perdata seperti firma, CV, Joint operation, maka kepailitan tidak diarahkan kepada firma, CV, Joint operation yang bersangkutan, namun diarahkan kepada persero-persero yang memiliki kapasitas dalam persekutuan perdata tersebut. Tentunya tidak mungkin dilakukan sita umum terhadap suatu badan hukum yang tidak memiliki kapasitas atas harta bendanya, alias barang tersebut milik orang lain.

Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dibutuhkan untuk dapat dinyatakan pailit adalah kapasitas dan kecakapan suatu subyek hukum untuk melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dan bukan hal lainnya.

Membicarakan konsep kepailitan bagi BUMN, maka tidak boleh dibedakan antara kepailitan terhadap badan hukum privat dan badan hukum publik seperti BUMN. Baik BUMN yang berbentuk Persero, maupun Perum dapat dipailitkan sebagaimana layaknya badan hukum privat dapat dipailitkan. Pertama karena UU Kepailitan tidak membedakan antara kapasitas badan hukum publik BUMN dengan badan hukum privat, kedua, karena dalam pengaturan mengenai BUMN sendiri, dimungkinkan terjadinya kepailitan bagi BUMN baik Persero (lihat Penjelasan ps. 7 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1998), maupun Perum (lihat ps. 25 Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1998).

Dari kacamata itu, maka tidak ada masalah dalam mempailitkan suatu BUMN yang berbentuk badan hukum persero, karena memang UU Kepailitan juga tidak memberikan privilege terhadap BUMN pada umumnya (perhatikan privilege yang berlaku bagi Bank, dan Perusahaan efek, yang dengan sendirinya berlaku mutatis mutandis bagi BUMN yang merupakan Bank dan perusahaan efek), dan oleh karenanya kepailitan BUMN harus dipandang sebagaimana kepailitan suatu Badan Hukum biasa.

Praktis tidak ada hal spesifik yang perlu diperhatikan dalam mengajukan kepailitan bagi BUMN, namun untuk memberi contoh pendapat pengadilan mengenai kepailitan BUMN, maka agak sulit, karena sampai saat ini belum ada satupun BUMN di Indonesia dinyatakan pailit. Meskipun beberapa kali permohonan pailit diajukan antara lain terhadap PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari (Persero), PT Hutama Karya (Persero), dan PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero), namun tidak ada hal penting yang dapat dicatat dari pendirian hakim mengenai kepailitan BUMN tersebut, karena kesemua permohonan tersebut tidak didasarkan atas kapasitas termohon sebagai BUMN, namun karena alasan-alasan lain yang bersifat prosedural.
http://www.hukumonline.com/klinik_detail.asp?id=537
PERSONAL GUARANTOR
Pertanyaan :
Apakah sudah ada yurisprudensi yang menetapkan bahwa personal guarantor (penjamin hutang perorangan) dapat dipailitkan? kalau sudah ada, dalam putusan apa?
Jawaban :
Pada dasarnya penjaminan pribadi merupakan bagian dari skema perjanjian penanggungan yang diatur pada KUH Perdata (Bab XVII KUH Perdata). Inti dari perjanjian penanggungan adalah adanya pihak ketiga yang setuju untuk kepentingan si berutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang, apabila pada waktunya si berutang sendiri tidak berhasil memenuhi kewajibannya (Pasal 1820 KUH Perdata). Berbeda dengan skema jaminan lainnya, yaitu jaminan kebendaan yang memberikan hak penuh kepada kreditur atas suatu hak kebendaan spesifik apabila terjadi kegagalan pemenuhan prestasi (misal: gadai, fidusia), maka perjanjian penanggungan hanya memberikan kreditur hak umum untuk menagih kepada pihak-pihak yang telah mengikatkan diri sebagai penanggung dalam hal kegagalan pembayaran, sehingga kedudukan kreditur yang dijamin oleh penanggung masih berada di bawah kreditur yang dijamin oleh hak jaminan kebendaan.

Perjanjian penanggungan sendiri dibagi menjadi dua bagian, yaitu penanggungan yang dilakukan oleh pribadi dan penanggungan yang dilakukan oleh badan hukum (personal guarantee dan corporate guarantee). Pada dasarnya keduanya memiliki prinsip yang sama, karena baik hak dan kewajiban yang dimiliki penanggung pada kedua jenis penanggungan tersebut identik, hanya saja subyek pelakunya berbeda.

Pengajuan permohonan pailit terhadap penanggung merupakan hal yang cukup lumrah, khususnya apabila penanggung adalah penanggung perusahaan. Pengadilan Niaga pernah menerima dan memutus pailit berbagai permohonan pailit yang ditujukan kepada penanggung perusahaan.

Namun tidak demikian halnya dengan permohonan pailit yang diajukan terhadap penjamin pribadi. Catatan kami menunjukkan bahwa hanya sedikit sekali permohonan pailit yang diajukan terhadap penjamin pribadi, begitu juga kasus dipailitkannya penjamin pribadi oleh majelis hakim niaga. Tidak ada penjelasan mengenai hal itu, tapi secara umum ada kecenderungan bahwa kreditur enggan berurusan dengan debitur pribadi untuk alasan praktis.

Paling tidak pada perkara-perkara berikut ini penjamin pribadi dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga, yatu
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terhadap PT. Ilmu Intiswadaya (debitur utama), Linda Januarita Tani (penjamin pribadi), dan PT. Optimal Teknindo Internasional (penjamin perusahaan) (Putusan No. 79/PAILIT/2000/PN.NIAGA.JKT. PST.)
Bank Credit Lyonnais Indonesia terhadap PT. Sandjaja Graha Sarana (penjamin perusahaan), Tjokro Sandjaja (penjamin pribadi), dan Patricia Sandjaja (penjamin pribadi) (Putusan No.29/PAILIT/1999/PN.NIAGA/ JKT. PST.)
Hasim Sutiono dan PT. Muji Inti Utama terhadap PT. Kutai Kartanegara Prima Coal (penjamin perusahaan) dan Ny. Iswati Sugianto (penjamin pribadi) (Putusan No. 18/PAILIT/1998/ PN.NIAGA/JKT.PST.)
Namun apabila berbicara apakah perkara-perkara tersebut di atas telah merupakan suatu yurisprudensi, maka jawabannya BELUM TENTU. Karena yang dianggap sebagai yurisprudensi yang mengikat oleh Mahkamah Agung adalah putusan-putusan yang telah diterbitkan dalam buku yurisprudensi terbitan Mahkamah Agung. Tidak semua putusan Mahkamah Agung adalah otomatis menjadi yurisprudensi, karena putusan-putusan tersebut akan dikompilasi oleh Seksi Penelaahan pada Direktorat Perdata Niaga dan kemudian melalui proses tertentu di seleksi kembali oleh Direktorat Hukum & Peradilan Mahkamah Agung untuk kemudian diterbitkan pada buku yurisprudensi.
KEPAILITAN TERKAIT DENGAN PERSEROAN TERBATAS YANG DI LIKUIDASI
Pertanyaan :
Apakah perseroan terbatas dalam likuidasi dapat mengajukan permohonan pailit dan terhadapnya diajukan permohonan pailit, sehubungan dengan perubahan undang-undang yang ada? dan Bagaimanakah cara berjalannya proses tersebut secara bersamaan?
Jawaban :
Ada dua pertanyaan yang bisa dijawab disini, pertama adalah apakah PT dalam likuidasi dapat mengajukan permohonan pailit? Selanjutnya apakah PT dalam likuidasi dapat dipailitkan? Khususnya dengan Undang-undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU ("UUK")

Untuk menjawab kedua masalah ini, haruslah dimengerti bahwa pada dasarnya suatu proses likuidasi belumlah mengakibatkan berakhirnya status suatu badan hukum. Berdasarkan Undang-undang No.1 tahun 1995 mengenai Perseroan Terbatas ("UUPT"), pembubaran suatu PT harus diikuti dengan likuidasi, dan selanjutnya berdasarkan Pasal 119 (1) UUPT, perseroan tersebut masih boleh melakukan tindakan hukum sebatas untuk melakukan pemberesan/likuidasi.

Hal ini mengimplikasikan fakta, bahwa sampai likuidasi suatu perseroan terbatas diselesaikan, dan diumumkan di berita negara dan tambahan berita negara serta dua surat kabar (pasal 124 UUPT), maka hukum masih menganggap perseroan tersebut masih ada dan hidup, oleh karenanya dalam hal perseroan terbatas dalam likuidasi ingin bertindak sebagai kreditur dalam suatu kepailitan, maka sepanjang permohonan kepailitan yang diajukan perseroan terbatas dalam likuidasi adalah dalam rangka likuidasi, maka hal itu jelas dapat dilakukan.

Selain itu, dengan belum paripurnanya proses likuidasi juga berakibat perseroan terbatas dalam likuidasi dapat diajukan pailit sebagai debitur. Lihat antara lain putusan Mahkamah Agung dalam perkara permohonan kepailitan BPPN terhadap PT Muara Alas Prima (dlk)

Sementara itu, apabila berbicara tentang UUK baru ini sendiri telah menegaskan secara literal, bahwa definisi ‘setiap orang’ yang termasuk dalam definisi kreditur, maupun debitur (pasal 1 ayat 2 dan 3 UUK) adalah termasuk juga orang perseorangan atau korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum dalam likuidasi.(Pasal 1 ayat (11) UUK).Mudah-mudahan dapat memberikan kejelasan bagi anda.
(http://www.hukumonline.com/klinik_detail.asp?id=4292)
STUDY KASUS MANULIFE
Pertanyaan :
Dalam Kasus Manulife, yang dianut itu pengertian utang & kreditur yang bagaimana? Kreditur apa yang dapat mengajukan permohonan pailit (kreditur bersaing, kreditur prefern atau kreditur separatis) apa alasannya? Apa ketentuan dari UU No. 4 tahun 1998 yang membuktikan bahwa UU tsb lebih menekankan perlindungan kepada kreditur?
Jawaban :
Dalam kasus Manulife tampaknya dianut pengertian utang secara luas, dimana utang tidak lagi didefinisikan secara sempit semata-mata sebagai kewajiban yang timbul dari transaksi pinjam-meminjam uang/utang piutang, namun segala kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Hal ini sudah sesuai dengan definisi utang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 Undang-undang No. 37 tahun 2004 mengenai kepailitan dan PKPU. Dalam kasus Manulife kewajiban yang dianggap mencetuskan utang sendiri timbul dari kewajiban Manulife untuk melakukan pembayaran dividen kepada pemohon sebagai salah satu pemegang saham.

Pada dasarnya kepailitan dapat diajukan oleh semua jenis kreditur. Tidak ada batasan mengenai kualifikasi kreditur yang dapat mengajukannya.
Sepanjang kreditur tersebut dapat membuktikan secara sederhana bahwa ada lebih dari satu utang, dan salah satunya telah jatuh tempo, maka secara formil, hakim wajib menyatakan debitur pailit.
Meskipun akhirnya secara logis, kepailitan idealnya lebih banyak dimanfaatkan oleh kreditur bersaingan (konkuren) yang notabene tidak memiliki hak prioritas apapun terhadap aset debitur, sehingga memerlukan mekanisme kepailitan untuk mengamankan kepentingan tagihan-tagihan mereka terhadap harta si-debitur.
Sementara itu, kreditur yang dijamin (kreditur separatis maupun preferens) karena hak mereka relatif telah ‘terjamin’ dari alokasi hasil penjualan harta debitur (misalnya pemegang hak tanggungan/fidusia-pelunasan diambil dari penjualan barang jaminan), maka bagi mereka, kebutuhan untuk mengakukan kepailitan tidak semendesak kreditur konkuren dalam menjamin pelunasan piutang-piutang mereka.
Dalam hal kreditur yang dijamin dapat membuktikan bahwa jaminan yang ada telah tidak cukup untuk melunasi utang debitur kepada mereka, misalnya, jaminan yang ada hanya senilai Rp. 100 juta, padahal nilai utang adalah Rp. 200 juta, maka tidak ada masalah bagi mereka untuk menuntut sisa utang tersebut melalui mekanisme kepailitan. Meskipun kalimat pada Pasal 60 UU Kepailitan mengatakan

‘Dalam hal hasil penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak cukup untuk melunasi piutang yang bersangkutan, Kreditor pemegang hak tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai kreditor konkuren, setelah mengajukan permintaan pencocokan piutang’

Namun kalimat ‘hasil penjualan’ tidak dengan serta merta menjadi batasan impreratif, bahwa jaminan tersebut harus terlebih dahulu dieksekusi. Lihat juga pasal 138 UU Kepailitan, yang mengatakan

Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau yang mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan, dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki kreditor konkuren atas bagian piutang tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya.

Dari situ terlihat bahwa terbuka kemungkinan pengajuan kepailitan oleh kreditur separatis, tanpa perlu terlebih dahulu mengeksekusi jaminannya. Karena secara logika, suatu proses kepailitan tidak sama sekali akan merubah konstelasi pembagian harta pailit, ataupun menambah keuntungan kreditur yang separatis. Karena tambahan nilai perolehan yang akan diperolehnya dari proses kepailitan juga tidak akan signifikan, karena pada akhirnya tetap dicocokkan oleh kurator dan kemudian harus dibagi secara proporsional dengan kreditur konkuren lainnya, sementara hak separatis dari jaminannya sama sekali tidak berkurang.

Keputusan pengadilan tentang ini relatif masih inkonsisten, meskipun dalam beberapa kasus sebelumnya issue ini sudah dianggap selesai, dan tidak ada permasalahan bagi kreditur separatis untuk mengajukan kepailitan, namun dalam permohonan kepailitan Sojitz Corporation terhadap Thirta Ria, baik dalam pengadilan tingkat pertama, maupun kasasi, pengadilan berpendapat bahwa kreditur harus terlebih dahulu melakukan eksekusi terhadap jaminan fidusia.

Menurut hemat saya, indikasi bahwa UU No.4/1998 lebih menekankan perlindungan terhadap kreditur, adalah tuduhan yang tidak berdasar. Karena konsep dasar kepailitan adalah memberikan jalan yang relatif adil, bagi kreditur yang ingin memperoleh pembayaran terhadap piutang-piutang yang notabene merupakan hak mereka. Cukup fair, apabila hukum menjamin hak pemulihan uang dari seorang yang sudah meminjamkan uangnya kepada debitur, dari risiko kegagalan bayar baik sengaja maupun tidak sengaja. Karena tanpa perlindungan yang memadai, maka yang terjadi adalah, orang bisa saja ingkar dari kewajibannya, tanpa perlu takut bahwa tindakannya dapat terjangkau oleh hukum.
TUGAS-TUGAS KURATOR DAN PENGAWAS
Pertanyaan :saya ingin menanyakan apa saja tugas seorang kurator dan pengawas?
Jawaban :
Deskripsi tugas seorang kurator dan pengurus dalam kepailitan tersebar dalam pasal-pasal di Undang-undang Kepailitan (UUK). Namun tugas kurator dan pengurus yang paling fundamental (sebagaimana diatur dalam ps. 67(1) UUK), adalah untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit.

Dalam melakukan tugas ini kurator maupun pengurus memiliki satu visi utama, yaitu mengambil keputusan yang terbaik untuk memaksimalisasikan nilai harta pailit.

Lebih jauh lagi tugas kurator pengurus dapat dilihat pada job description dari kurator pengurus, karena setidaknya ada 3 jenis penugasan yang dapat diberikan kepada kurator pengurus dalam hal proses kepailitan, yaitu:

1. Sebagai Kurator sementara
Kurator sementara ditunjuk dengan tujuan untuk mencegah kemungkinan debitur melakukan tindakan yang mungkin dapat merugikan hartanya, selama jalannya proses beracara pada pengadilan sebelum debitur dinyatakan pailit. Tugas utama kurator sementara adalah untuk:
1) mengawasi pengelolaan usaha debitur; dan
2) mengawasi pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau pengagunan kekayaan debitur yang dalam rangka kepailitan memerlukan kurator (ps.7 UUK).

secara umum tugas kurator sementara tidak banyak berbeda dengan pengurus, namun karena pertimbangan keterbatasan kewenangan dan efektivitas yang ada pada kurator sementara, maka sampai saat ini sedikit sekali terjadi penunjukan kurator sementara.

2. Sebagai pengurus
Pengurus ditunjuk dalam hal adanya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Tugas pengurus hanya sebatas menyelenggarakan pengadministrasian proses PKPU, seperti misalnya melakukan pengumuman, mengundang rapat-rapat kreditur, ditambah dengan pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan usaha yang dilakukan oleh debitur dengan tujuan agar debitur tidak melakukan hal-hal yang mungkin dapat merugikan hartanya.

Perlu diketahui bahwa dalam PKPU debitur masih memiliki kewenangan untuk mengurus hartanya sehingga kewenangan pengurus sebatas hanya mengawasi belaka.

3. Sebagai Kurator
Kurator ditunjuk pada saat debitur dinyatakan pailit, sebagai akibat dari keadaan pailit, maka debitur kehilangan hak untuk mengurus harta kekayaannya, dan oleh karena itu kewenangan pengelolaan harta pailit jatuh ke tangan kurator.

Dari berbagai jenis tugas bagi Kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan, maka dapat disarikan bahwa kurator memiliki beberapa tugas utama, yaitu:

1. Tugas Administratif
Dalam kapasitas administratif nya Kurator bertugas untuk mengadministrasikan proses-proses yang terjadi dalam kepailitan, misalnya melakukan pengumuman (ps. 13 (4) UUK); mengundang rapat-rapat kreditur ; mengamankan harta kekayaan debitur pailit; melakukan inventarisasi harta pailit (ps. 91 UUK); serta membuat laporan rutin kepada hakim pengawas (ps. 70 B (1) UUK).

Dalam menjalankan kapasitas administratifnya Kurator memiliki kewenangan antara lain a) kewenangan untuk melakukan upaya paksa seperti paksa badan (ps. 84 (1) UUK), b) melakukan penyegelan (bila perlu) (ps. 90 (1) UUK)

2. Tugas Mengurus/mengelola harta pailit
Selama proses kepailitan belum sampai pada keadaan insolvensi (pailit), maka kurator dapat melanjutkan pengelolaan usaha-usaha debitur pailit sebagaimana layaknya organ perseroan (direksi) atas ijin rapat kreditur (ps. 95 (1) UUK).
Pengelolaan hanya dapat dilakukan apabila debitur pailit masih memiliki suatu usaha yang masih berjalan

Kewenangan yang diberikan dalam menjalankan pengelolaan ini termasuk diantaranya a) kewenangan untuk membuka seluruh korespondensi yang ditujukan kepada debitur pailit (ps. 14 jo ps.96 UUK) b) kewenangan untuk meminjam dana pihak ketiga dengan dijamin dengan harta pailit yang belum dibebani demi kelangsungan usaha (ps. 67 (3)-(4) UUK) c) kewenangan khusus untuk mengakhiri sewa, memutuskan hubungan kerja, dan perjanjian lainnya

3. Tugas Melakukan penjualan-pemberesan
Tugas yang paling utama bagi Kurator adalah untuk melakukan pemberesan. Maksudnya pemberesan di sini adalah suatu keadaan dimana kurator melakukan pembayaran kepada para kreditor konkuren dari hasil penjualan harta pailit.
Kiranya demikian deskripsi singkat mengenai tugas Kurator, masih banyak deskripsi lain yang lebih luas dari tugas seorang kurator-pengurus, namun secara umum informasi inilah yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mengerti tugas kurator-pengurus.
KEWENANGAN KURATOR
Pertanyaan :Apakah Kurator dapat menyelenggarakan RUPS, mengubah anggota Dewan Direksi dan Dewan komisaris?
Jawaban :
Ini pertanyaan yang sangat menarik. Dalam pengamatan kami, tidak ada satupun ketentuan dalam “UU Kepailitan" (Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 jo Staatsblad 1905 Nomor 217 jo Staatsblad 1906 Nomor 3481) yang secara spesifik mengatur hal ini. UU Kepailitan lebih banyak mengatur tentang prosedur dan juga tentang akibat kepailitan atas harta debitur pailit serta pengurusan atau pemberesannya. Sedikit sekali disinggung tentang akibat kepailitan atas subyek hukum debitur itu sendiri. Hal ini pula yang mengakibatkan banyak kesimpangsiuran, misalnya tentang apakah suatu perseroan terbatas yang telah dibubarkan (dan sedang dalam likuidasi) dapat dinyatakan pailit.

Kepailitan suatu perseroan terbatas berakibat hilangnya kekuasaan dan kewenangan seluruh organ-organ perseroan atas harta kekayaan perseroan tersebut. Organ-organ perseroan seperti RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris menjadi tidak berwenanang untuk melakukan tindakan-tindakan kepengurusan harta, dan kedudukannya digantikan oleh kurator. Sebagai contoh, Pasal 67(2) UU Kepailitan menegaskan bahwa dalam melakukan tugasnya kurator tidak memerlukan persetujuan dari organ debitur/perseroan pailit, walaupun di luar kepailitan persetujuan tersebut disyaratkan.

Pertanyaannya adalah apakah organ-organ perseroan kehilangan wewenangnya untuk melakukan tindakan selain pengurusan atas harta pailit? Seharusnya jawabannya adalah tidak. Organ-organ itu tetap berwenang selama tidak ada akibatnya atas harta pailit. Jika kita mengkaji kepailitan atas perseorangan dan bukan perseroan terbatas, maka debitur pailit dapat tetap hidup, bersosialisasi, bahkan dapat bekerja dan menghasilkan uang untuk harta pailit. Namun, untuk perseroan terbatas memang sulit sekali ditarik garis yang jelas, karena sebagai badan usaha yang bertujuan mencari keuntungan, maka seluruh atau (hampir seluruh) tindakan yang diambil organ-organ tersebut adalah untuk mendapatkan keuntungan. Namun baiklah untuk kepentingan diskusi ini kita anggap saja organ perseroan tetap berwenang. Akibatnya, kurator tidak dapat mengambilalih kewenangan tersebut, termasuk mengadakan RUPS, dan sebagainya.

Analisa di atas juga sesuai dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas ("UU PT"). Walaupun mengatur tentang perubahan Anggaran Dasar suatu perseroan, Pasal 18 UU PT menegaskan bahwa perubahan tersebut harus dengan persetujuan kurator. Ini berarti bahwa organ RUPS masih berfungsi dan pemegang saham masih berwenang untuk mengadakan RUPS selama bukan untuk pengurusan harta pailit.

Selanjutnya kita perlu pertanyakan pula kepentingan kurator untuk mengadakan RUPS untuk mengganti susunan anggota Direksi atau Dewan Komisaris. Dalam kepailitan RUPS sebagai salah satu organ perseroan telah kehilangan kewenangannya dalam pengurusan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67(2) UU Kepailitan. Kurator dapat mengambil sendiri tindakan-tindakan pengurusan harta untuk dan atas nama perseroan pailit berdasarkan diskresinya. Tentunya ada beberapa batasan, yaitu keharusan ijin terlebih dahulu dari lembaga lain, seperti Hakim Pengawas atau rapat kreditur. Jika kurator perlu bantuan dalam mengurus harta debitur/perseroan pailit, maka kurator dapat menunjuk tenaga ahli. Bahkan perubahan susunan Direksi atau Dewan Komisaris dapat menyulitkan pertanggungjawaban organ-organ tersebut, jika kepailitan disebabkan kesalahan mereka.

Yang mungkin terjadi, perubahan susunan organ tersebut dilakukan dalam rangka rencana perdamaian. Tentunya dalam hal ini debitur (yaitu pemegang saham melalui RUPS) sendiri yang dapat melakukannya, karena rencana perdamaian juga hanya dapat diajukan oleh debitur pailit.
PKPU
Pertanyaan :1. Apa dasar hukumnya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)? 2. Mengapa penyelesaian utang piutang di Pengadilan Niaga sangat sedikit diselesaikan melalui PKPU daripada melalui "pailit"? 3. Apakah penyelesaian utang piutang melalui PKPU bermanfaat bagi kepentingan kreditur dan debitur? Dan apakah nenberikan perlindungan terhadap kreditur? Alasannya?
Jawaban :
1. PKPU diatur pada BAB II UU Kepailitan, tepatnya ps. 212 sampai ps. 279 Undang-Undang Kepailitan.
2. Mungkin urutan pemikirannya perlu diperjelas terlebih dahulu. PKPU tidak dapat disejajarkan dengan instrumen kepailitan, atau sebagai sesuatu yang bersifat alternatif dari prosedur kepailitan, sehingga tidak dapat dibandingkan seperti yang ditanyakan.

PKPU adalah prosedur hukum (atau upaya hukum) yang memberikan hak kepada setiap Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren (lihat ps. 212 UU Kepailitan).

PKPU dapat diajukan secara sukarela oleh debitur yang telah memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat membayar utang-utangnya, maupun sebagai upaya hukum terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh krediturnya.

PKPU sendiri terbagi 2 bagian, tahap pertama, adalah PKPU Sementara, dan tahap kedua adalah PKPU Tetap. Berdasarkan Pasal 214 ayat (2) UU Kepailitan Pengadilan niaga HARUS mengabulkan permohonan PKPU Sementara. PKPU sementara diberikan untuk jangka waktu maksimum 45 hari, sebelum diselenggarakan rapat kreditur yang dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada debitur untuk mempresentasikan rencana perdamaian yang diajukannya.

PKPU Tetap diberikan untuk jangka waktu maksimum 270 hari, apabila pada hari ke 45 atau rapat kreditur tersebut, belum dapat memberikan suara mereka terhadap rencana tersebut (lihat ps. 217 (3) UUK).

Prinisp ini jelas berbeda dengan kepailitan, yang prinsip dasarnya adalah untuk memperoleh pelunasan secara proporsional dari utang-utang debitur. Meskipun pada prinsipnya kepailitan masih membuka pintu menuju perdamaian dalam kepailitan, namun cukup jelas bahwa kepailitan dan PKPU adalah dua hal yang berbeda, dan oleh karenanya tidak pada tempatnya untuk membandingkan secara kuantitatif kedua hal tersebut.

3. Jelas sangat bermanfaat, karena perdamaian yang dilakukan melalui PKPU akan mengikat kreditur lain diluar PKPU (lihat ps.270 UUK), sehingga debitur dapat melanjutkan restrukturisasi usahanya, tanpa takut ‘digerecoki’ oleh tagihan-tagihan kreditur-kreditur yang berada diluar PKPU.

Selain itu Kreditur juga seharusnya terjamin melalui PKPU, karena apabila terjadi pelanggaran terhadap perjanjian perdamaian tersebut, maka kreditur dapat mengajukan permohonan pembatalan perjanjian perdamaian kepada Pengadilan Niaga, dan debitur akan otomatis dinyatakan pailit (lihat ps. 160, 161, jo 276 UUK).

Bandingkan dengan apabila melalui proses restructuring biasa, yang apabila terjadi breach perjanjian, tentunya harus dilalui proses gugat perdata yang berliku-liku proses dan panjangnya waktu.
SITA JAMINAN DALAM KEPAILITAN
Pertanyaan :Pasal 7 UU Kepailitan mengatur tentang sita jaminan dalam kepailitan, tapi tata cara dan prosedurnya tidak ada peraturan pelaksanannya. Menurut pasal 284 UU Kepailitan dikatan bila tidak ada ketentuan yang mengaturnya, maka yang digunakan adalah ketentuan dalam hukum acara perdata. Tapi nantinya akan banyak ketentuan yang tidak sinkron dengan UU Kepailitan, contohnya soal jangka waktu, pengadilan yang berwenang, soal jaminan dari kreditur (ps 7 ayat 3 UUK), dll. Tolong dijelasin gimana sih prosedurnya??? terima kasih!!!
Jawaban :
Prosedur permintaan dan penetapan sita jaminan dalam kepailitan memang mengacu pada ketentuan pasal 7 Undang-Undang Kepailitan (Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 jo Staatsblad 1905 Nomor 217 jo Staatsblad 1906 Nomor 3481).

Dalam prakteknya, pemohon pailit biasanya memang meminta kepada Pengadilan Niaga terhadap kekayaan Termohon pailit diletakkan sita jaminan. Namun dalam prakteknya pula, permintaan sita jaminan tersebut tidak pernah dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Mengapa?

Karena, pertama, acara pemeriksaan di Pengadilan Niaga berlangsung dengan acara sumir (sederhana) dan waktunya singkat (dalam 30 hari harus sudah ada putusan). Tanpa prosedur sita jaminan saja, proses persidangan dan pemeriksaan perkara kepailitan sudah sangat “mepet” timeline-nya.

Kedua, hakekat dari pernyataan pailit sendiri adalah sitaan umum terhadap harta benda debitur yang ada sekarang maupun di masa yang akan datang. Oleh karena itu, tanpa meminta sita jaminan pun, apabila debitur dinyatakan pailit maka otomatis pernyataan tersebut merupakan sitaan umum dan tidak perlu lagi meminta sita jaminan ke pengadilan negeri.

Jadi permohonan pailit yang disertai permintaan sita jaminan selama ini tidak pernah ada yang dikabulkan oleh Majelis Pengadilan Niaga karena mereka beranggapan seandainya nanti debitur dinyatakan pailit, maka otomatis seluruh harta benda debitur menjadi sitaan umum yang digunakan untuk melunasi utangnya kepada kreditur-krediturnya.
KEPAILITAN DAN ARBITRASE
Pertanyaan :1.Dapatkah Kreditur mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga bila dalam perjanjian yang telah disepakati terdapat klausula Arbitrase ? 2.Apakah adanya klausula arbitrase dalam perjanjian dapat menjadi dasar bagi pengadilan untuk menolak permohonan pailit ?
Jawaban :
Dalam menanggapi pertanyaan saudara, apakah sengketa-sengketa yang memiliki klausula arbitrase dapat diajukan permohonan pailit? maka jawabannya adalah DAPAT.
Dan begitu pula sebaliknya, Pengadilan TIDAK DAPAT memakai alasan adanya klausula arbitrase yang telah diperjanjikan olah para pihak sebagai alasan untuk menolak suatu permohonan pailit.

Alasan pendapat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Adanya perbedaan kegunaan instrumen kepailitan dengan instrumen arbitrase

Arbitrase adalah suatu mekanisme penyelesaian sengketa, yang bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan antara para pihak akibat dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam perjanjian, sementara kepailitan adalah suatu mekanisme yang berhubungan dengan status personal orang, dari tidak pailit menjadi pailit dengan segala konsekuensi publiknya.

Artinya meskipun arbitrase dapat berperan sebagai pengganti badan peradilan dalam menyelesaikan sengketa perdata antara para pihak yang disebabkan terjadinya wanprestasi (lihat Pasal dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif), tapi pertanyaannya apakah kewenangan arbitrase juga dapat menggantikan peran proses kepailitan yang notabene berhubungan dengan status personal seseorang atau badan hukum?

2. Perbedaan syarat pengajuan kepailitan, jika dibandingkan dengan syarat pengajuan gugatan kepada arbitrase

Berdasarkan ps. 1 (1) jo. ps. 6 UU Kepailitan, suatu permohonan kepailitan dapat diajukan apabila debitur memiliki dua atau lebih utang, dan salah satu utang telah jatuh tempo, dan dapat dibuktikan secara sederhana. Sesederhana itu.
Sementara arbitrase merupakan mekanisme penyelesaian sengketa (lihat ps. 2 UU Arbitrase) yang mewajibkan adanya sengketa/perselisihan yang perlu diselesaikan.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa arbitrase dan kepailitan merupakan dua hal yang berbeda, untuk mengajukan permohonan kepailitan tidak diperlukan suatu sengketa, dan sementara masuknya perkara ke arbitrase harus melalui adanya sengketa atau perselisihan atau sejenisnya.

Sehingga untuk memperoleh persetujuan atas permohonan kepailitan tidak diperlukan dibuktikan adanya sengketa, cukup unsur-unsur pada Pasal 1 jo. 6 UU Kepailitan.

3. Perbedaan sifat antara Kepailitan dengan Arbitrase

Sebagai proses publik, kepailitan merupakan suatu proses hukum yang memiliki implikasi publik. Dengan adanya kepailitan, maka ketentuan ps. 22 sampai ps. 32 UU Kepailitan cukup jelas meletakkan bahwa hak dan kewajiban debitur pailit beralih kepada kurator sebagai pihak yang akan melakukan pembayaran kewajiban debitur pailit dari uang hasil penjualan harta pailit, begitu juga proses-proses penegakan hukum yang berkenaan dengan harta pailit, misalnya sita-sita yang telah dikenakan oleh Pengadilan, dan tahanan badan, semuanya harus di angkat dan kelanjutannya akan amat bergantung dari penyelesaian proses kepailitan itu sendiri.
KEPAILITAN DAN ARBITRASE LANJUTAN
Pertanyaan :1.Dapatkah Kreditur mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga bila dalam perjanjian yang telah disepakati terdapat klausula Arbitrase ? 2.Apakah adanya klausula arbitrase dalam perjanjian dapat menjadi dasar bagi pengadilan untuk menolak permohonan pailit ?
Jawaban :
(sambungan)

Dalam tataran praktek, pendapat hakim sendiri bervariasi dari satu putusan kepada putusan yang lainnya. Sampai saat ini masih belum dapat disimpulkan pendapat akhir dari posisi arbitrase terhadap kepailitan. Pada masa-masa awal pengadilan niaga cenderung berada pada posisi bahwa dengan adanya klausula arbitrase, maka sebagai konsekuensi asas kebebasan berkontrak (pacta sunt sevarda) yang mengikat sebagai undang-undang bagi para pembuatnya, dengan sendirinya menimbulkan kewenangan absolut lembaga arbitrase terhadap seluruh proses hukum apapun, termasuk juga proses kepailitan. (lihat putusan Niaga No.2/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst. antara Chioda Sport Market vs. Para Bandung Propertindo, putusan Niaga No.14/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst. antara PT Environmental Network Indonesia vs. PT Putra Putri Fortuna Windu dan PFF International Corporation, putusan Niaga No.19/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst., antara PT. Basuki Pratama Engineering et. al vs. PT. Megarimba Karyatama, yang berpendapat bahwa klausula arbitrase pada perjanjian telah menimbulkan kewenangan absolut bagi lembaga arbitrase yang menisbikan kewenangan Pengadilan Umum termasuk diantaranya Pengadilan Niaga yang merupakan bagian dari Pengadilan Umum)

Belakangan pendapat itu diluruskan oleh Mahkamah Agung dengan beberapa pendapat utama, yaitu yang menyatakan bahwa Pengadilan Niaga adalah extra ordinary jurisdiction, sehingga tidak dapat dinisbikan oleh klausula arbitrase (Keputusan Kasasi No.12/K/N/1999), selain itu Pengadilan juga berpendapat bahwa kepailitan berada di luar kekuasaan para pihak sebagai suatu materi yang dapat diperjanjikan bersama dan menimbulkan kewenangan absolut arbitrase, (ps. 615 Rv jo. ps. 5 UU Arbitrase)

Setelah itu beberapa putusan mengenai arbitrase dalam kepailitan merujuk kepada putusan Kasasi No.12/K/N/1999 tersebut, namun anehnya putusan terakhir yang kami miliki mengenai arbitrase (Putusan Niaga No.80/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst antara PT Trakindo Utama vs. PT Hotel Sahid Jaya Internasional), dalam putusan Kasasi No.05/K/N/2001 Mahkamah, Agung justru berbalik kepada pendirian semula dan berpendapat bahwa Pengadilan Niaga tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa permohonan pailit.

Hal ini sesungguhnya menjadi menarik, meskipun secara teoritis jelas posisi kepailitan di hadapan yurisdiksi arbitrase, namun pada prakteknya tidak semudah itu jika kita melihat kepada pendirian pengadilan yang terlihat masih belum berada pada posisi yang tetap.
KATEGORI SANKSI ADMINISTRASI DALAM BOEDEL KEPAILITAN
Pertanyaan :Apakah sanksi administraif yang berupa denda yang dijatuhkan oleh suatu instansi wajib didahulukan pembayarannya dari piutang preferen dan piutang konkuren? Mohon disebutkan dasar hukum yang mendasarnya.
Jawaban :
Hal ini juga tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundangan yang berlaku. Soal tata-urutan tagihan diatur dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan beberapa peraturan perundangan lainnya selain UU Kepailitan, misalnya Kitab Undang-undang Hukum Dagang bagi tagihan pelayaran dan peraturan di bidang Perbankan.

Jika kita tilik Pasal 1137 KUHPerdata, maka hanya dikatakan bahwa tagihan/hak dari Kas Negara, Kantor Lelang dan badan umum lainnya yang dibentuk oleh Pemerintah didahulukan dari piutang lainnya. Namun, pasal yang sama menyatakan bahwa tertib pelaksanaannya, jangka waktu hak tersebut akan diatur dalam undang-undang khusus.
Nah, selain UU Perpajakan, sepengetahuan kami belum ada undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut, termasuk denda suatu instansi pemerintah. Memang secara umum, dapat saja didalilkan bahwa seluruh hak atau piutang lembaga negara atau pemerintah termasuk dalam pengertian Pasal 1137 KUHPerdata. Akan tetapi, dalil ini dapat saja dibantah. Sepertinya hingga ada ketentuan yang secara jelas mengatur, atau yurisprudensi tetap Mahkamah Agung, hal ini akan tetap menjadi perdebatan
HIDUP FAKULTAS HUKUM UNRI....!!!!SELAMAT MEMBACA YACH............. :)
SALAM KOMPAT DARI FH UNRI 2002

# posted by Ronny Arcan Ambarita : 2:03 AM 1 comments
Friday, October 28, 2005
http://solusihukum.com/artikel/artikel36.php#_ftn1

KEPAILITAN DI INDONESIA (PENGANTAR)

Oleh; Imran Nating, SH., MH.[1]

Pendahuluan
Dipailitkannya Prudential beberapa saat yang lalu membawa kabar buruk bagi para pemegang polis asuransi perusahaan tersebut. Hal yang sama bahkan lebih tragis lagi dirasakan oleh pemilik dan tentunya karyawan Prudential. Masyarakat (karyawan dan pemegang polis)dan pengamat sekalipun, juga heran. Keheranan mereka berdasar pada satu tolok ukur yang kasat mata, bahwa Prudential berada dalam kondisi keuangan yang sehat, dan yang lainnya, bahwa hutang Prudential tidak sebanding dengan harta kekayaan Prudential yang demikian besarnya.
Tulisan ini nermaksud memberikan gambaran secara sederhana tentang kepailitan.

Apa itu Pailit
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.[2]
Dalam hal seorang debitur hanya mempunyai satu kreditur dan debitur tidak membayar utangnya dengan suka rela, maka kreditur akan menggugat debitur secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan seluruh harta debitur menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut. Hasil bersih eksekusi harta debitur dipakai untuk membayar kreditor tersebut. Sebaliknya dalam hal debitur mempunyai banyak kreditur dan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditur, maka para kreditur akan berlomba dengan segala cara, baik yang halal maupun yang tidak, untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu.
Kreditur yang datang belakangan mungkin sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitur sudah habis. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan. Menurut Kartini Muljadi, hal inilah yang menjadi maksud dan tujuan dari Undang-Undang Kepailitan, yaitu untuk menghindari terjadinya keadaan seperti yang dipaparkan di atas [3]
Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar.[4] Dalam perkembangannya kemudian, Undang-Undang Kepailitan juga bertujuan untuk melindungi debitur dengan memberikan cara untuk menyelesaikan utangnya tanpa membayar secara penuh, sehingga usahanya dapat bangkit kembali tanpa beban utang.
Sejarah perundang-undangan kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir 100 tahun yang lalu yakni sejak 1906, sejak berlakunya “Verordening op het Faillissement en Surceance van Betaling voor de European in Indonesia” sebagaimana dimuat dalam Staatblads 1905 No. 217 jo. Staatblads 1906 No. 348 Faillissementsverordening.[5]
Dalam tahun 1960-an, 1970-an secara relatip masih banyak perkara kepailitan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, namun sejak 1980-an hampir tidak ada perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan negeri.[6]
Tahun 1997 krisis moneter melanda Indonesia, banyak utang tidak dibayar lunas meski sudah ditagih, sehingga timbul pikiran untuk membangunkan proses kepailitan dengan cara memperbaiki perundang-undangan di bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang atau biasanya disingkat PKPU.
Pada tanggal 20 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan tanggal 9 september 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 135).
Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut bukanlah mengganti peraturan kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissements Verordening Staatsblad tahun 1905 No. 217 juncto Staatblads tahun 1906 No. 308, tetapi sekedar mengubah dan menambah.
Dengan diundangkannya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut, yang kemudian disahkan oleh DPR dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut, maka tiba-tiba Peraturan Kepailitan (Faillissements Verordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348) yang praktis sejak lama sudah tidak beroperasi lagi, menjadi hidup kembali.[7] Sejak itu, pengajuan permohonan-permohonan pernyataan pailit mulai mengalir ke Pengadilan Niaga dan bermunculanlah berbagai putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan.
Sistem yang dipergunakan dalam perubahan Undang-Undang Kepailitan adalah tidak melakukan perubahan secara total, tetapi hanya mengubah pasal-pasal tertentu yang perlu diubah dan menambah berbagai ketentuan baru ke dalam undang-undang yang sudah ada. Pokok-pokok penyempurnaan tersebut meliputi antara lain:[8] Pertama, penyempurnaan di sekitar syarat-syarat dan prosedur permintaan pernyataan kepailitan. Termasuk didalamnya, pemberian kerangka waktu yang pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit. Kedua, penyempurnaan pengaturan yang bersifat penambahan ketentuan tentang tindakan sementara yang dapat diambil oleh pihak-pihak yang berkepentingan, khususnya oleh kreditur atas kekayaan debitur sebelum adanya putusa pernyataan pailit. Ketiga, peneguhan fungsi kurator dan penyempurnaan yang memungkinkan pemberian jasa-jasa tersebut di samping institusi yang selama ini telah dikenal, yaitu Balai Harta Peninggalan. Keempat, penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pernyataan kepailitan. Dalam Undang-Undang Kepailitan hasil revisi dikatakan bahwa untuk setiap putusan pernyataan pailit, upaya hukum yang dapat diajukan hanyalah kasasi ke Mahkamah Agung. Kelima, dalam rangka kelancaran proses kepailitan dan pengamanan berbagai kepentingan secara adil, dalam rangka penyempurnaan ini juga ditegaskan adanya mekanisme penangguhan pelaksanaan hak kreditur dengan hak preferens, yang memegang hak tanggungan, hipotik, gadai atau agunan lainnya. Keenam, penyempurnaan dilakukan pula terhadap ketentuan tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagaimana diatur dalam BAB KEDUA Undang-Undang Kepailitan sebagaimana telah diubah. Ketujuh, penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang akan menyelesaikan masalah kepailitan secara umum. Lembaga ini disebut dengan pengadilan niaga, dengan hakim-hakim yang juga akan bertugas secara khusus.

Tujuan Kepailitan
Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator.[9] Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.
Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:[10]
Pertama, kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur.
Kedua, kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata merupakan perwujudan adanya jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan oleh debitur terhadap kreditur-krediturnya dengan kedudukan yang proporsional. Adapun hubungan kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut:[11]
Bahwa kekayaan debitur (pasal 1131) merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya (pasal 1132) secara proporsional, kecuali kreditur dengan hak mendahului (hak Preferens).

Syarat Kepailitan
Dalam undang-undang kepailitan, persyaratan untuk dapat dipailitkan sungguh sangat sederhana. Pasal 1 ayat (1) UUK, menentukan bahwa yang dapat dipailitkan adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.
Dari paparan di atas, maka telah jelas, bahwa untuk bisa dinyatakan pailit, debitur harus telah memenuhi dua syarat yaitu:
1. Memiliki minimal dua kreditur;
2. Tidak membayar minimal satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Kreditur yang tidak dibayar tersebut, kemudian dapat dan sah secara hukum untuk mempailitkan kreditur, tanpa melihat jumlah piutangnya.

Begitu Mudah Dipailitkan
Undang-Undang Kepailitan kita, sekali lagi memang sangat mempermudah proses kepailitan. Sebagai contoh, Pasal 6 ayat (3) UUK menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) telah terpenuhi.
Bunyi pasal di atas dengan tegas menyatakan bahwa Hakim harus mengabulkan, bukan dapat mengabulkan, jika telah terbukti secara sederhana. Yang dimaksud terbukti secara sederhana adalah kreditur dapat membuktikan bahwa debitur berutang kepadanya, dan belum dibayarkan oleh debitur kepadanya padahal telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Kemudian kreditur tersebut dapat membuktikan di depan pengadilan, bahwa debitur mempunyai kreditur lain selain dirinya. Jika menurut hakim apa yang disampaikan kreditur atau kuasanya benar, tanpa melihat besar kecilnya jumlah tagihan kreditur, maka hakim harus mengabulkan permohonan kepailitan yang diajukan oleh kreditur tersebut.

Akibat Hukum Pernyataan Pailit
Pernyataan pailit, mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan.
Dengan ditiadakannya hak debitur secara hukum untuk mengurus kekayaannya, maka oleh Undang-Undang Kepailitan ditetapkan bahwa terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, KURATOR berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kurator tersebut ditunjuk bersamaan dengan Hakim Pengawas pada saat putusan pernyataan pailit dibacakan.
Dengan demikian jelaslah, bahwa akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah bahwa ia tidak boleh lagi mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut adalah Kurator.
Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan menunjuk seorang hakim pengawas, yang mengawasi perjalan proses kepailitan (pengurusan dan pemberesan harta pailit).

Siapa yang Mempailitkan Siapa
Setiap kreditur (perorangan atau perusahaan) berhak mempailitkan debiturnya (perorangan atau perusahaan) jika telah memenuhi syarat yang diatur dalam UUK, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Dikecualikan oleh Undang-Undang Kepailitan adalah Bank dan Perusahaan Efek. Bank hanya bisa dimohonkan pailitkan oleh Bank Indonesia, sedangkan perusahaan efek hanya bisa dipailitkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
Bank dan Perusahaan Efek hanya bisa dipailitkan oleh instansi tertentu, hal ini didasarkan pada satu alasan bahwa kedua institusi tersebut melibatkan banyak uang masyarakat, sehingga jika setiap kreditur bisa mempailitkan, hal tersebut akan mengganggu jaminan kepastian bagi para nasabah dan pemegang saham.
Jika kita melihat kasus Prudential dan Manulife, maka telah nyata bagi semua kalangan, bahwa perusahaan asuransi pun melibatkan uang masyarakat banyak, sehingga seharusnya UUK mengatur bahwa Perusahaan Asuransi pun harus hanya bisa dipailitkan oleh instansi tertentu, dalam hal ini Departemen Keuangan.
Kejaksaaan juga dapat mengajukan permohonan pailit yang permohonannya didasarkan untuk kepentingan umum.

Penutup
Tulisan ini hanya mencoba memberi gambaran sederhana mengenai proses kepailitan di Indonesia. Apa yang penulis sampaikan di atas sungguh masih sangat tidak lengkap menyampaikan informasi tentang kepailitan.
Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam proses kepailitan akan penulis sampaikan dalam artikel yang lain.

[1] Penulis adalah Lawyer di Jakarta, Menyelesaikan S1 di UNHAS dan S2 di UI (Hukum Ekonomi) .
[2] J. Djohansah. “ Pengadilan Niaga” di dalam Rudy Lontoh (Ed.), Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ( Bandung: Alumni, 2001). Hlm. 23
[3] Menurut Kartini Muljadi, hal inilah yang menjadi maksud dan tujuan dari Undang-Undang Kepailitan, yaitu untuk menghindari terjadinya keadaan seperti yang dipaparkan diatas. Lihat Kartini Muljadi. “Pengertian dan Prinsip-prinsip Umum Hukum Kepailitan”, di dalam Ruddhy Lontoh (Ed.), Penyelesaian Utang Piutang melaui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung: Alumni, 2001) hlm. 75-76.
[4] Erman Radjagukuguk. “Latar Belakang dan Ruang Lingkup Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan”, di dalam Ruddhy Lontoh (Ed.), Penyelesaian Utang Piutang melaui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung: Alumni, 2001) hlm. 181.

[5] Kartini Muljadi, “Perubahan pada Faillessmentverordening dan perpu No. 1 tahun 1998 jo UU No. 4 tahun 1998 tentang penetapan Perpu No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas UU tentang kepalilitan menjadi UU”, makalah dalam Seminar Perkembangan Hukum Bisnis di Indonesia. Jakarta 25 Juli 2003.
[6] Ibid
[7] Sutan Remy Sjahdeni. Hukum Kepailitan – Memahami Faillissementsverordening juncto Undang-Undang No. 4 tahun 1998. (Jakarta: Pusataka Utama Grafiti, 2002) hlm. ix
[8] Ahmad Yani & Gunawan Widjaja.Kepailitan.. (Jakarta: Rajawali Pers, 1999) hlm. 5-9
[9] Mosgan Situmorang. “Tinjauan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 menjadi Undang-Undang”. Majalah Hukum Nasional, No. 1, hlm. 163. 1999
[10] Sri Redjeki Hartono, “ Hukum Perdata sebagai dasar hukum kepailitan modern”, Majalah Hukum Nasional, No. 2 hlm. 37 Tahun 2000.
[11] Ibid.
Upaya Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Jual-beli Barang (Studi Komparatif Ketentuan CISG dan KUHPerdata)

OLEH ESTHER DWI MAGFIRAH
A. PENDAHULUAN.
Perjanjian jual-beli merupakan jenis perjanjian timbal balik yang melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Kedua belah pihak yang membuat perjanjian jual-beli masing-masing memiliki hak dan kewajiban untuk melaksanakan isi perjanjian yang mereka buat. Sebagaimana umumnya, perjanjian merupakan suatu lembaga hukum yang berdasarkan asas kebebasan berkontrak dimana para pihak bebas untuk menentukan bentuk dan isi jenis perjanjian yang mereka buat. Akan tetapi kebebasan dalam membuat suatu perjanjian itu akan menjadi berbeda bila dilakukan dalam lingkup yang lebih luas yang melibatkan para pihak dari negara dengan sistem hukum yang berbeda. Masing-masing negara memiliki ketentuan tersendiri yang bisa jadi berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut tentu saja akan mempengaruhi bentuk dan jenis perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang berasal dari dua negara yang berbeda tersebut karena apa yang diperbolehkan oleh suatu sistem hukum negara tertentu ternyata dilarang oleh sisten hukum negara lainnya.
Untuk mengatasi hambatan-hambatan yang dapat timbul dari keanekaragaman sistem hukum tersebut maka komunitas perdagangan internasional membuat suatu konvensi internasional untuk mengatur perjanjian jual-beli barang internasional. Konvensi internasional mengenai perjanjian jual-beli internasional tersebut dilakukan pada tahun 1964 yang menghasilkan The Uniform Law on the International sale of Goods 1964 dan The Uniform Law on the Formation of Contract for the International Sale of Goods 1964. Pada tahun 1980 kedua konvensi tersebut telah direvisi oleh UNCITRAL dan kemudian diintegrasikan menjadi The United Nations Convention on Contracts for the International Sale Goods (CISG). Disamping itu telah dilakukan pula amandemen terhadap Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods.
Suatu jenis perjanjian jual-beli barang dibuat untuk menjamin kepastian hukum bagi para pihak. Perjanjian tersebut akan meliputi subyek dan obyek perjanjian, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian dan upaya hukum yang tersedia bagi para pihak apabila terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian tersebut.
Artikel ini akan melakukan kajian komparatif – deskriptif mengenai perlindungan hkum bagi para pihak dalamperjanjian jual beli barang antara ketentuan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd) dan The Untited Nations Convention on Contract for the International Sale Goods (CISG).
B.PERJANJIAN JUAL- BELI BARANG MENURUT KUHPERDATA DAN CISG
1.Menurut KUHPerdata.
Sudikno Mertokusumo (1996:103) mendefinisikan perjanjian sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Suatu perjanjian didefinisikan sebagai hubungan hukum karena didalam perjanjian itu terdapat dua perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yaitu perbuatan penawaran (offer, aanbod) dan perbuatan penerimaan (acceptance, aanvaarding).
Dalam pasal 1457 KUHPerd disebutkan bahwa jual-beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan,dan pihak yang satu lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Jadi pengertian jual-beli menurut KUHPerd adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (pembeli) untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut (Subekti, 1995: 1)
Perjanjian jual-beli dalam KUHPerd menentukan bahwa obyek perjanjian harus tertentu, atau setidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat akan diserahkan hak milik atas atas barang tersebut kepada pembeli.
Sementara itu, KUHPerd mengenal tiga macam barang yaitu barang bergerak, barang tidak bergerak (barang tetap), dan barang tidak berwujud seperti piutang, penagihan, atau claim.
2.Menurut CISG
Ketentuan CISG tidak memberikan definisi khusus mengenai perjanjian jual-beli barang internasional. Pasal 1 CISG hanya memberikan batasan lingkup penerapan dari ketentuan CISG tersebut.
Untuk menentukan pengertian perjanjian internasional, akan dikutip doktrin yang dikemukakan Martin Wolff (dalam Hamzah Rasyid, 1988: 111) bahwa contract is means an agreement between two or more parties which in accordinance with their intention, imposes a duty on at least one them, the promisor and creates for the promises a right to clain fulfillment of promises.
Sedangkan pengertian perjanjian internasional menurut Sidharta Gautama dalam Hamzah Rasyid (1998: 112) adalah perjanjian-perjanjian yang mempunyai suatu foreign element.
Pasal 1 CISG menyebutkan bahwa:
(1) Konvensi CISG akan berlaku terhadap kontrak jual-beli barang antara para pihak yang tempat usahanya berada di Negara yang berlainan:
a. bilamana negara-negara tersebut adalah negara –negara peserta konvensi CISG.
b.bilamana peraturan hukum perdata international menyebabkan berlakunya hukum dari suatu negara peserta.
(2) Fakta bahwa para pihak mempunyai tempat usaha di negara-negara yang berbeda akan diabaikan bilamana ini tidak dinyatakan baik dalam kontrak maupun dalam transaksi apapun antara, atau dari dari keterangan yang diungkapkan oleh para pihak tersebut setiap saat sebelum atau pada saat penyelesaian kontrak tersebut.
(3) Baik kebangsaan para pihak tersebut, maupun sifat perdata atau perdagangan dari para pihak ataupun dari kontrak tidak akan dipertimbangkan dalam menentukan berlakunya konvensi.
Dari rumusan pasal 1 CISG dapat dilihat bahwa perjanjian yang dimaksud harus memiliki karakter internasional sebagaimana kriteria dalam pasal1 ayat 1 CISG.
Mengenai barang, CISG juga tidak mendefinisikan secara langsung tetapi memberi batasan tentang barang yang dikecualikan oleh CISG.
Pasal 2 CISG menentukan bahwa:
Konvensi CISG tidak berlaku terhadap jual-beli:
a. Barang yang dibeli untuk keperluan pribadi, keluarga atau rumah, kecuali penjual, setiap saat sebelum atau pada waktu penyelesaian kontrak, tidak mengetahui atau tidak mengetahui atau tidak seharusnya mengetahui bahwa barang yang dibeli adalah untuk keperluan tersebut diatas;
b. melalui lelang;
c. melalui eksekusi atau karena wewenang hukum ;
d. obligasi, saham, investmen securities, kertas berharga, atau uang;
e. kapal, kendaraan terapung, hoverecraft atau pesawat terbang;
f. listrik.
Dari rumusan pasal 2 CISG nampak bahwa konvensi CISG hanya diterapkan pada barang bergerak dan barang berwujud kecuali yang disebut diatas. Transaksi mengenai benda tidak bergerak, lebih bersifat domestik daripada international.
C.HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN.
a. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam KUHPerd.
1. Hak dan Kewajiban Penjual.
Penjual memiliki dua kewajiban utama yaitu menyerahkan hak milik atas barang dan barang menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung cacat tersembunyi. Sebaliknya embeli memiliki hak atas pembayaran harga barang, hak untuk menyatakan pembatalan berdasarkan pasal 1518 KUHPerd dan hak reklame.
2. Hak dan Kewajiban Pembeli.
Pembeli berkewajiban membayar harga barang sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Pembayaran harga dilakukan pada waktu dan tempat yang ditetapkan dalam perjanjian.
Harga tersebut harus berupa uang. Meski mengenai hal ini tidak ditetapkan oleh undang-undang namun dalam istilah jual-beli sudah termaktub pengertian disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang (Subekti, 1995: 21).
b. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam CISG.
Ketentuan CISG hanya mengatur secara khusus mengenai kewajiban para pihak sebagaimana ditentukan dalam bab II tentang kewajiban penjual dan bab III yang menyebutkan tentang kewajiban pembeli. Secara timbal balik dapat disimpulkan bahwa kewajiban penjual merupakan hak dari pembeli demikian pula sebaliknya.
a. Kewajiban Penjual Menurut CISG.
1.Menyerahkan barang-barang, dokumen-dokumen, sebagaimana diperlukan dalam kontrak (pasal 30).
2.Jika penjual tidak tidak terikat untuk menyerahkan barang-barang di tempat yang ditentukan maka kewajibannya adalah menyerahkan barang-barang kepada pengangkut pertama untuk diserhkan barang-barang kepada pengangkut pertama untuk diserahkan kepada pembeli (pasal 31 sub a).
3. Penjual harus menyerahkan barang-barang:
a. pada tanggal yang ditentukan.
b. dalam jangka waktu yang ditentukan.
c. dalam jangka waktu yang wajar (reasonable) setelah pembuatan kontrak (pasal 33).
4.Penjual harus menyerahkan barang-barang sesuai dengan jumlah, kualitas dan persyaratan yang ditentukan dalam kontrak (pasal 35 ayat 1).
5. Penjual harus menyerahkan barang-barang yang bebas dari tuntutan dan hak pihak ketiga kecuali pembeli menyetujui untuk mengambil barang-barang tersebut (pasal 41).
b. Kewajiban Pembeli Menurut CISG.
1. Pembeli harus membayar harga barang-barang berdasarkan kontrak, hukum dan peraturan-peraturan (pasal 53-54).
2. Jika pembeli tidak terikat untuk membayar harga di suatu tempat tertentu maka pembeli harus membayarnya ditempat dimana penyerahkan barang dan dokumen dilakukan (pasal 57 ayat 1).
3. Pembeli harus membayar harga barang pada tanggal yang telah ditentukan dalam kontrak (pasal 59).
4. Jika waktu pembayaran tidak ditentukan secara pasti maka pembeli harus membayar nya ketika penjual menempatkan barang-barang di tempat penyimpanan pembeli (pasal 59 ayat 1).
D. UPAYA HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI BARANG MENURUT KETENTUAN CISG DAN KUHPERDATA
Dalam CISG upaya hukum bagi penjual dan pembeli dalam hal terjadi sengketa pada pelaksanaan perjanjian dibagi dalam tiga kategori yaitu dalam hal breach of contract, fundamental contract, dan anticipatory breach. Dalam KUHPerd upaya hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual-beli diatur dalam pasal 1236-1243 KUHPerd dalam hal terjadi wanprestasi dan wanprestasi khusus yang masing-masing memiliki konsekuensi dan durasi pengajuan gugatan yang berbeda. Sedangkan gugatan ganti kerugian diatur dalam pasal 1243-1252 KUHPerd.
Upaya Hukum dalam Breach of Contract.
a. Bagi Pembeli diatur dalam pasal 45-52 CISG dan 74-77 CISG.
1. Pembeli berhak meminta penjual untuk melakukan penyerahan barang.
2. Pembeli berhak meminta barang pengganti dan ganti rugi.
3. Pembeli berhak meminta pembatalan perjanjian.
4. Pembeli berhak meminta penurunan harga.
b. Bagi Penjual diatur dalam pasal 61-65 CISG dan 74-77 CISG.
1. Penjual berhak meminta pelaksanaan perjanjian pada pembeli untuk membayar harga, menerima penyerahan barang dan menentukan perpanjangan waktu untuk melakukan kewajiban.
2. Penjual berhak meminta pembatalan perjanjian.
3. Penjual berhak meminta ganti rugi termasuk kehilangan keuntungan (pasal 74-77 CISG).
Upaya –upaya hkum yang diatur dalam CISG saling berkaitan. Hak untuk pemulihan kerugian sebagaimana diatur dalam pasal 74-77 CISG tidak hilang bila para pihak menggunakan upaya hukum lainnya .
Upaya Hukum dalam Fundamental Breach.
Pasal 25 CISG menegaskan pengertian dari fundamental breach sebagai berikut.
Suatu pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak akan bersifat mendasar apabila pelanggaran ini akan menimbulkan kerugian pada pihak lainnya sedemikian besarnya sehingga tidak memungkinkan untuk memperoleh apa yang diharapkan menurut perjanjian tersebut, kecuali pihak yang melakukan pelanggaran tersebut memang tidak dapat memperkirakan sebelumnya terjadinya hal tersebut, maupun siapapun lainnya dalam keadaan yang sama seperti dirinya akan secara wajar tidak dapat memperkirakan akibatnya yang demikian.
Sebagai akibat hukum dari fundamentum breach masing-masing pihak dapat meminta pembatalan perjanjian vide pasal 26 CISG.
Upaya Hukum dalam Anticipatory Breach.
1. Para Pihak Berhak Meminta Penundaan Pelaksanaan Perjanjian.
Berdasarkan pasal 71 CISG, baik-penjual maupun pembeli dapat menunda pelaksanaan kewajiban apabila pihak lawan tidak melaksanakan suatu bagian penting dari kewajibannya sebagai akibat dari suatu kekurangan atas kemampuan pelaksanaan kewajiban atau kebonafiditasnya atau atau perbuatannya dalam mempersiapkan pelaksanaan atau pelaksanaan perjanjian tersebut.
2. Para Pihak Berhak Meminta Pembatalan Perjanjian.
Menurut pasal 72 CISG apabila sebelum tanggal penyerahan kontrak telah menjadi jelas bahwa salah satu pihak akan melakukan suatu pelanggaran yang mendasar terhadap perjanjian maka pihak lainnya dapat menyatakan perjanjian sebagai dibatalkan dengan pemberitahuan.
Dalam hal penyerahan barang secara angsuran adanya kegagalan pihak lawan untuk melaksanakan kewajibannya merupakan suatu pelanggaran mendasar dan karena itu dapat dimintakan pembatalan perjanjian.
Namun demikian menurut CISG, tindakan avoidance tidak diberlakukan untuk seluruh isi perjanjian. Berdasarkan ketentuan pasal 81 CISG, avoidance tidak berlaku atas ketentuan mengenai sengketa, ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban para pihak sebagai akibat avoidance, dan pihak yang telah melaksanakan perjanjian baik secara keseluruhan atau sebagian berhak menuntut ganti kerugian.
Dalam perjanjian obligatoir, senantiasa terdapat kewajiban yang harus dipenuhi oleh salah satu pihak dan kewajiban tersebut merupakan hak yang pemenuhannya dapat dituntut oleh pihak lain.
Pihak yang berhak menuntut disebut pihaak berpiutang atau kreditor dan pihak yang berwajib memenuhi tuntutan disebut sebagai pihak berhutang atau debitor. Sebaliknya, sesuatu yang dapat dituntut disebut dengan istilah prestasi.
Prestasi dalam KUHPerd dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Jika seorang debitor tidak memenuhi kewajibannya, menurut hukum debitor tersebut dikatakan wanprestasi yang menyebabkannya dapat digugat di depan hakim.
Subekti (1990: 45) mengklasifikasi tindakan wanprestasi menjadi empat macam, yaitu:
a. tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilaksanakan;
b. melaksanakan apa yang diperjanjikan tidak sebagaimana mestinya;
c. melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat;
d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Adapun Pitlo (1988: 55) berpendapat bahwa wanprestasi itu dapat terjadi jika debitor mempunyai kesalahan. Kesalahan adalah adanya unsur kealpaan atau kesengajaan. Kesengajaan terjadi jika debitor secara tahu dan mau tidak memenuhi kewajibannya. Kealpaan terjadi jika debitor dapat mencegah penyebab tidak terjadinya prestasi dan debitor dapat disalahkan karena tidak mencegahnya.
Demikian demikian seorang dapat dinyatakan wanprestasi manakala yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya unuk memenuhi prestasi dan tidak terlaksananya kewajiban tersebut karena kelalaian atau kesengajaan.
Van Dume (1989: 31) menyatakan bahwa apabila terjadi wanprestasi, maka kreditor yang dirugikan dari perikatan timbal-balik mempunyai beberapa pilihan atas berbagai macam kemungkinan tuntutan, yaitu:
a. menuntut prestasi saja;
b. menuntut prestasi dan ganti rugi;
c. menuntut ganti rugi saja;
d. menuntut pembatalan perjanjian;
e. menuntut pembatalan perjanjian dan ganti rugi.
Haal tersebut tidak lain dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kreditor, agar dapat mempertahankan kepentingan terhadap debitor yang tidak jujur.
Namun demikian, hukum jugaa memperhatikan dan memberikan perlindungan bagi debitor yang tiddak memenuhi kewajibannya, jika hal itu terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian.
Subekti (1985: 55) mengemukakan bahwa seorang debitor yang dinyatakan wanprestasi masih dimungkinkan untuk melakukan pembelaan berupa:
a. mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa;
b. mengajukan bahwa kreditor sendiri juga telah lalai;
c. mengajukan bahwa kreditor telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
Ketentua mengenai keadaan memaksa tersebut dalam KUHPerd dapat ditemui dalam pasal 1244 dan 1245 KUHPerd. Kedua pasal itu dimaksudkan untuk melindungi pihak debitor yang telah beritikad baik.
Namun demikian, Pitlo (1988: 65) menegaskan bahwa jika debitor telah melakukan wanprestasi, maka debitor tidak dapat lagi membebaskan diri dengan dasar keadaan memaksa yang terjadi setelah debitor debitor ingkar janji.
Halangan debitor untuk melaksanakan perjanjian yang disebabkan keadaan memaksa secara teoritis dapat dibedakan antara keadaan memaksa mutlak dan tidak mutlak.
Prodjodikoro (1989: 56) menyatakan bahwa keadaan memaksa absolut terjadi keadaan itu menyebabkan janji sama sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun dan bagaimanapun. Keadaan memaksa tidak mutlak terjadi apabila pelaksanaan janji masih mungkin tetapi demikian sukarnya dan dengan pengorbanan dari pihak yang berwajib sedemikian rupa sehingga patutlah bahwa kewajiban untuk melaksanakan janji itu dianggap tidak ada atau lenyap.
E PENUTUP.
1. KESIMPULAN.
Dalam perjanjian obligatoir seperti perjanjian jual-beli senantiasa terdapat suatu kewajiban oleh salah satu pihak dan kewajiban tersebut merupakan hak yang pemenuhannya dapat dituntut oleh pihak lain. CISG maupun KUHPerd masing-masing memberikan beberapa upaya hukum yang dapat dipilih oleh para pihak dalam hal terjadi pelanggaran atas perjanjian jual-beli, yaitu:
a. meminta pelaksanaan perjanjian;
b. meminta pembatalan perjanjian;
c. meminta ganti kerugian termasuk kerugian akibat kehilangan keuntungan.
Dalam CISG, masih dikenal upaya hukum yang lain yaitu penundaan pelaksanaan perjanjian yang dapat diminta oleh salah satu pihak atas pihak lainnya apabila terjadi anticipatory breach sebagaimana ditentukan dalam pasal 71 dan 72 CISG.
Secara garis besar, upaya hukum dalam perjanjian jual-beli menurut CISG adalahsebagai berikut.
a. Dalam hal breach of contract :
- upaya hukum bagi pembeli diatur dalam pasal 45-52 CISG .
- upaya hukum bagi penjual diatur dalam pasal 61-65 CISG..
b. Dalam hal fundamental breach :
Upaya hukum bagi penjual dan pembeli diatur dalam pasal 26 CISG.
c. Dalam hal anticipatory breach :
Upaya hukum bagi penjual dan pembeli diatur dalam pasal 71 dan 72 CISG.
Sementara itu, ketentuan untuk ganti kerugian bagi para pihak diatur dalam pasal 74-77 CISG.
Dalam KUHPerd, upaya hukum bagi penjual dan pembeli dalam perjanjian jual beli diatur dalam Buku III. Dalam hal terjadi wanprestasi dan wanprestasi khusus terdapat ketentuan pasal 1266-1243 dan dalam hal ganti kerugian diatur dalam pasal 1243-1252 KUHPerd.
2. SARAN.
Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian jual-beli internasional dalam CISG maypun perjanjian dalam KUHPerd menganut sistem terbuka dimana para pihak bebas menentukan bentuk dan isi perjanjian (vide pasal 6 jo pasal 12 CISG dan pasal 1338 KUHPerd). Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam CISG maupun KUHPerd dapat dipilih sebagai dasar hukum dari perjanjian yang dibuat para pihak atau sebagai pelengkap jika para pihak menentukan sendiri bentuk dan isi perjanjiannya.
Oleh karena itu para pihak sepatutnya memperhatikan bentuk dan isi perjanjian secara detail termasuk ketentuan yang mengatur tentang sengketa diantara mereka. Ketentuan tersebut sangat urgen untuk menjamin kepentingan hukum mereka dan untuk mengantisipasi dan mengeliminasi kerugian yang akan timbul jika terjadi pelanggaran perjanjian.
Penulis adalah mahasiswa S2 Ilmu Hukum UGM Yogyakarta.
Email: esthermagfirah@yahoo.com
estherdm@plasa.com

DAFTAR REFERENSI
Hamzah Rasyid, 1998, "Kontrak dalam Jual-Beli Barang Internasional" dalam Seri Dasar
Hukum Ekonomi: Jual-Beli Barang secara Internasional, ELIPS dan
FH-UI, Jakarta.
Subekti 1990, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.
Subekti 1995, Aneka Perjanjian, Cipta Aditya Bakti, Bandung.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
The United Nations Convention on Contract for International sale Goods (CISG).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

# posted by Ronny Arcan Ambarita : 7:47 AM 0 comments
Cyber Law
http://solit.8m.com/download/undang_undang_it.htm


TINJAUAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG (RUU) TENTANG PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASIOleh : Prof. Dr. R. Otje S. Soemadiningrat,S.H
Dekan Fakultas Hukum UNIKOM
Abstrak
Hadirnya masyarakat informasi yang diyakini merupakan salah satu agenda penting masyarakat dunia di milenium ke tiga, antara lain ditandai dengan pemanfaatan teknologi informasi yang semakin meluas dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia, bukan saja di negara-negara maju tetapi juga di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Fenomena ini pada gilirannya telah menempatkan informasi sebagai komoditas ekonomi yang sangat penting dan mengguntungkan. Untuk merespon perkembangan ini di beberapa negara sebagai pionir dalam pemanfaatan internet telah mengubah paradigma ekonominya dari ekonomi yang berbasis manufaktur menjadi ekonomi yang berbasis jasa.
PENDAHULUAN
Pembicaraan tentang hukum harus dilakukan dalam sudut pandang yang luas dan komprehensif. Sejalan dengan upaya untuk merancang, memberlakukan dan menerapkan aturan hukum nasional harus senantiasa berpedoman pada kesepakatan internasional. Norma-norma hukum internasional kian terjalin erat dengan norma-norma hukum nasional. Perkembangan teknologi komputer dan internet semakin mempererat hubungan antara kedua bidang hukum tersebut. Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN lain sangat memahami pentingnya hukum internasional di bidang pengaturan e-commerce dan dibuktikan dengan kesepakatan e-ASEAN Framework Agreement pada bulan Nopember 2000 di Singapura yang antara lain mendesak negara-negara anggota untuk menggembangkan kerangka hukum yang menumbuhkan kepercayaan konsumen. Untuk maksud ini negara-negara ASEAN didesak untuk membuat aturan dan kebijakan nasional di bidang transaksi secara elektronik atas dasar hukum internasional.
Memperhatikan berbagai kegiatan yang dilakukan di beberapa forum internasional, khususnya yang tengah berupaya menciptakan aturan hukum bagi e-commerce, orator berpendapat bahwa kegiatan yang dilakukan di dua organisasi utama dunia yakni PBB dan WTO harus dicermati dengan lebih seksama karena keduanya dapat menimbulkan konsekuensi penting bagi Indonesia.
Mencermati kegiatan di forum WTO adalah penting karena terkait dengan kewajiban-kewajiban Indonesia sebagai negara anggota, sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah di bidang pengaturan e-commerce sedapat mungkin tidak menyimpang dari berbagai komitmen yang telah disepakati sebagai anggota WTO, jika kita tidak ingin mendapatkan konsekuensi yang merugikan. Sebagaimana diketahui dalam Article II:2 dari Agreement Establishing The World Trade Organization disebutkan : ? The Agreements and associated legal instruments included in Annexes 1,2, and 3 (hereinafter referred to as Multilateral Trade Agreements) are integral parts of this Agreement, binding on all Members?.
Sebagai perwujudan komitmen Indonesia untuk melakukan liberalisasi di bidang jasa telekomunikasi, telah diundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang bertujuan untuk menghilangkan ?Barriers to market entry? dan mencegah monopoli. Sekalipun e-commerce tidak diatur secara khusus akan tetapi pengiriman dan penerimaan informasi melalui internet termasuk dalam ruang lingkup pengaturan undang-undang ini karena menurut Pasal 1 Ayat (1) undang-undang ini, telekomunikasi diartikan sebagai ?setiap pemancaran?, pengiriman dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektronik lainnya.
UNCITRAL adalah organisasi internasional lainnya yang harus dicermati dalam perkembangan e-commerce. Jika WTO akan sangat berpengaruh terhadap bidang Hukum Publik karena ditujukan kepada negara dan memberikan acuan pada kebijakan negara di bidang perdagangan internasional, UNCITRAL memiliki pengaruh luas karena memberikan pedoman terhadap kegiatan bisnis lewat internet terutama bersifat business to business atau antara produsen dan konsumen. Dengan kata lain mengatur hubungan-hubungan hukum yang bersifat perdata.
Bidang Hukum Keperdataan yang dapat menarik manfaat dari produk UNCITRAL khususnya UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce adalah Hukum Perikatan. Yang harus dilakukan adalah bagaimana menyesuaikan ketentuan-ketentuan Hukum Perikatan dalam Buku III KUH Perdata sehingga dapat mengakomodasi transaksi-transaksi bisnis modern lewat internet. Penyusunan undang-undang tentang internet harus diselaraskan dengan berbagai peraturan baru yang berhasil diciptakan dalam rangka menunjang sistem perdagangan bebas seperti Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli, dan Undang-Undang RI Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Hadirnya masyarakat informasi yang dinyakini merupakan salah satu agenda penting masyarakat dunia di milenium ke tiga, antara lain ditandai dengan pemanfaatan teknologi informasi yang semakin meluas dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia, bukan saja di negara-negara maju tetapi juga di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Fenomena ini pada gilirannya telah menempatkan informasi sebagai komoditas ekonomi yang sangat penting dan mengguntungkan. Untuk merespon perkembangan ini di beberapa negara sebagai pionir dalam pemanfaatan internet telah mengubah paradigma ekonominya dari ekonomi yang berbasis manufaktur menjadi ekonomi yang berbasis jasa.
Munculnya sejumlah kasus yang cukup fenomenal di dunia internet telah mendorong dan mengukuhkan internet sebagai salah satu institusi dalam arus utama (mainstream) budaya dunia saat ini.
Eksistensi internet sebagai salah satu institusi dalam arus utama budaya dunia lebih ditegaskan lagi dengan maraknya perniagaan elektronik (e-commerce) yang diprediksikan sebagai ?bisnis besar masa depan? (the next big thing).
E-commerce ini bukan saja telah menjadi mainstream budaya negara-negara maju tetapi juga telah menjadi model transaksi termasuk Indonesia.
Teknologi informasi telah mempermudah duplikasi materi yang dapat dikemas dalam bentuk digital (digitalized products). Contoh materi yang dapat dikemas dalam bentuk digital adalah produk musik, film (video), karya tulis (buku), dan perangkat lunak (software). Teknologi informasi dapat digunakan untuk menggandakan atau membuat copy dari materi tersebut dengan kualitas yang sama dengan aslinya tanpa merusak atau mengurangi sumber aslinya.
Pembajakan kaset, CD (baik format aslinya ataupun dalam format MP3 dimana dalam CD dapat diisi dengan ratusan lagu), VCD, buku, dan software marak dilakukan di seluruh dunia, meskipun yang menjadi sorotan adalah Asia (termasuk Indonesia didalamnya). Teknologi untuk memproteksi seperti watermarking, dongle, enkripsi, dan sebagainya telah dicoba untuk dikembangkan. Akan tetapi tampaknya pihak yang melakukan proteksi kalah langkah dengan para pembobol (code breakers).
Nama domain yang digunakan sebagai alat dan identitas di internet juga memiliki permasalahan tersendiri. Penamaan domain memiliki kaitan erat dengan nama perusahaan, produk atau jasa (service) yang dimilikinya. Seringkali produk atau jasa ini didaftarkan sebagai merek dagang atau merek jasa. Dalam hal ini muncul persoalan, apakah nama domain itu tunduk pada rezim hukum merek atau tidak?
Masalah nama domain ini cukup pelik dikarenakan di dunia ini ada beberapa pengelola nama domain independen. Ada lebih dari dua ratus pengelola domain yang berbasis territory (yang sering disebut sebagai Country Code Top Level Domain atau ccTLD). Sebagai contoh pengelola domain untuk Indonesia (.id)
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah persoalan perizinan, hal ini menjadi penting untuk diperhatikan karena pada tahap tertentu dapat mengarah kepada munculnya praktek monopoli apabila tidak dilakukan secara benar serta memperhatikan kecepatan perkembangan teknologi informasi.
Di Indonesia masalah privacy belum menjadi masalah yang besar. Di luar negeri khususnya di negara-negara maju, privacy telah memperoleh perhatian yang cukup serius. Seringkali kita mengisi suatu formulir yang mensyaratkan pencantuman data pribadi (nama, alamat, tempat/tanggal lahir, agama, dan sebagainya) tanpa informasi yang jelas mengenai penggunaan data ini. Mengingat e-commerce beroperasi secara lintas batas, maka privacy policy dapat menjadi salah satu kendala perdagangan antar negara. Jika pelaku bisnis di Indonesia tidak menerapkan Privacy Policy, maka mitra bisnis di luar negeri tidak akan bersedia melakukan transaksi bisnis tersebut. Mereka berkewajiban menjaga privacy dari konsumen atau mitra mereka. Masalah lain yang berkaitan, akan tetapi mungkin memiliki sudut pandang yang berbeda adalah masalah kerahasiaan atau rahasia dagang.
Internet meupakan salah satu produk gabungan teknologi komputer dan telekomunikasi yang sukses. Internet yang pada awalnya ditujukan untuk kepentingan militer saat ini telah digunakan sebagai media untuk melakukan bisnis dan kegiatan sehari-hari. Yang sering menjadi pertanyaan adalah tingkat keamanan dari teknologi internet. Keamanan di internet sebetulnya sudah pada tahap yang dapat diterima, hanya hal ini perlu mendapat pengesahan dari pemerintah atau otoritas lainnya sehingga pelaku bisnis mendapatkan kepastian hukum.
Identitas seseorang dapat diberikan dengan menggunakan digital signature (tanda tangan digital) yang dikelola oleh Certification Authority (CA). Permasalahannya adalah tanda tangan digital ini harus dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah setelah melalui prosedur dan mekanisme keamanan yang tinggi.
Kejahatan yang ditimbulkan oleh teknologi komputer dan telekomunikasi perlu diantisipasi. Istilah hacker, cracker, dan cybercrime telah sering terdengar dan menjadi bagian dari khazanah hukum pidana, Kejahatan yang melibatkan orang Indonesia sudah terjadi. Ada juga kejahatan yang dilakukan oleh pengguna di Indonesia dengan tidak menggirimkan barang atau uang yang sudah disepakati dalam transaksi e-commerce. Tindak kejahatan semacam ini pada umumnya dapat ditelusuri (trace) dengan bantuan catatan (logfile) yang ada di server ISP yang digunakan Cracker. Akan tetapi seringkali ISP tidak melakukan pencatatan (logging) atau hanya menyimpan log dalam kurun waktu yang singkat. Logfile ini dapat menjadi bukti adanya akses cracker tersebut. Penyidikan kejahatan cyber ini membutuhkan keahlian khusus. Pihak ahli hukum harus lebih cepat tanggap dalam menguasai teknologi baru ini.
Eksistensi teknologi informasi disamping menjanjikan sejumlah harapan, pada saat yang sama juga melahirkan kecemasan-kecemasan baru antara lain munculnya kejahatan baru yang lebih canggih dalam bentuk Cyber Crime. Disamping itu, mengingat teknologi informasi yang tidak mengenal batas-batas teritorial dan sepenuhnya beroperasi secara maya (virtual), teknologi informasi juga melahirkan aktivitas-aktivitas baru yang harus diatur oleh hukum yang berlaku saat ini. Kenyataan ini telah menyadarkan masyarakat akan perlunya regulasi yang mengatur mengenai aktivitas-aktivitas yang melibatkan teknologi informasi.
II. Tinjauan RUU Tentang Pemanfaatan Teknologi Informasi
Departemen perhubungan Republik Indonesia direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi bekerja sama dengan pusat studi hukum teknologi informasi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran telah menyusun rancangan Undang-Undang tentang ?Pemanfaatan Teknologi Informasi?.Adapun pertimbangan disusunnya rancangan Undang-undang tersebut adalah :
Perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kahidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.
Globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan pemamfaatan teknologi informasi di tingkat nasional sebagai jawaban atas perkembangan yang terjadi baik di tingkat regional maupun internasional.
Bahwa kegiatan pemamfaatan teknologi informasi perlu terus dikembangkan tanpa mengesampingkan persatuan dan kesatuan nasional dan penegakan hukum secara adil, sehingga pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan pemamfaatan teknologi informasi dapat dihindari melalui penerapan keseragaman asas dan peraturan perundang-undangan.
Pemamfaatan teknologi informasi mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka menghadapi globalisasi sehingga perlu dilakukan langkah-langkah konkret untuk mengarahkan pemamfaatan teknologi informasi agar benar-benar mendukung pertumbuhan perekonomian nasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah perlu memberikan dukungan terhadap pengembangan teknologi beserta infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga kegiatan pemamfaatan teknologi informasi dapat dilakukan secara aman dengan menekan akibat-akibat negatifnya serendah mungkin.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas maka dipandang perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Pemamfaatan Teknologi Informasi.
Berdasarkan RUU tentang pemamfaatan teknologi informasi, yang
dimaksud dengan Teknologi Informasi adalah ?suatu teknik untuk menggumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisa, dan menyebarkan informasi?.
Dalam pasal 2 RUU tentang pemamfaatan teknologi informasi disebutkan bahwa kegiatan teknologi informasi harus diselenggarakan berdasarkan asas kemanfaatan dan kemitraan dengan mengutamakan kepentingan nasional, persatuan dan kesatuan, menghormati ketertiban umum, kesusilaan, serta menjunjung tinggi etika. Selanjutnya pada Pasal 3 disebutkan bahwa pengaturan pemamfaatan teknologi informasi harus dilaksanakan dengan tujuan untuk:
1. Mendukung persatuan dan kesatuan bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
2. Mendukung perkembangan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional;
3. Mendukung efektivitas komunikasi dengan memanfaatkan secara optimal teknologi informasi untuk tercapainya keadilan dan kepastian hukum;
4. Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk menggembangkan pemikiran dan kemampuannya di bidang teknologi informasi secara bertanggungjawab dalam rangka menghadapi perkembangan teknologi informasi dunia.
Selanjutnya dalam RUU tersebut juga diatur mengenai peran pemerintah dan masyarakat dalam pemamfaatan teknologi informasi yang diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan teknologi informasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, dan pengawasan. Peran serta masyarakat disini berupa penyampaian pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai pemamfaatan teknologi informasi dan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat dan kepentingan nasional.
Perdagangan secara elektronik merupakan bagian penting yang juga diatur dalam RUU Pemamfaatan Teknologi Informasi mengingat pemamfaatan media elektronik yang semakin meningkat dalam dunia bisnis sekarang ini. Akibat hukum perdagangan yang dilakukan secara elektronik sama dengan perdagangan pada umumnya. Anggota masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi yang benar berkaitan dengan syarat-syarat kontrak, produsen dan produk yang ditawarkan melalui media elektronik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian pula pelaku usaha berkewajiban untuk menjalankan aktivitas usahanya dalam perdagangan secara elektronik dengan jujur dan itikad baik.
Pemanfaatan internet dalam kegiatan perbankan, serta pemamfaatan teknologi informasi dalam kegiatan pemerintahan dan kegiatan pelayanan kesehatan juga merupakan bagian materi yang dituangkan dalam RUU Pemamfaatan Teknologi Informasi. Demikian pula bagian yang tak kalah pentingnya adalah pengaturan mengenai Hak kekayaan intelektual dan hak atas informasi rahasia dalam kegiatan teknologi informasi dan kegiatan perdagangan secara elektronik berlaku peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam transaksi perbankan dengan memanfaatkan teknologi informasi memiliki kekuatan hukum yang sama dengan transaksi perbankan pada umumnya. Pembentukan lembaga sertifikasi perbankan yang berwenang mengawasi dan memberikan pelayanan jasa melalui teknologi informasi dilakukan dalam upaya memberikan perlindungan dan keamanan terhadap nasabah. Lembaga sertifikasi perbankan merupakan badan yang dibentuk oleh pemerintah maupun masyarakat yang fungsinya memberikan verifikasi bahwa internet banking tersebut layak beroperasi dan nasabah aman dalam melakukan transaksi.
Berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam kegiatan pelayanan kesehatan, untuk memberikan perlindungan dan keamanan terhadap masyarakat dibentuk lembaga sertifikasi pelayanan kesehatan di bawah koordinasi departemen terkait yang berwenang mengawasi dan memberikan sertifikasi terhadap pusat-pusat pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan jasa kesehatan melalui internet.
Program komputer sebagai bagian penting dari sistem teknologi informasi mendapat pengaturan dalam undang-undang ini. Program komputer yang dilindungi tersebut tidak hanya mencakup program-program komputer yang telah dipublikasikan tetapi juga mencakup program-program yang masih berbentuk rumusan awal ataupun berupa kode-kode tertentu yang bersifat rahasia seperti halnya personal identification number (PIN). Undang-undang ini juga melindungi kompilasi data atau materi lain yang dapat dibaca karena seleksi dan penyusunan isinya merupakan karya intelektual.
Pengaturan mengenai nama domain yang digunakan sebagai alamat dan identitas di internet, di dalam RUU tentang Pemanfaatan Teknologi tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Demikian juga tidak boleh bertentangan dengan merek terdaftar, nama badan hukum terdaftar, indikasi geografis atau indikasi asal sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Pendaftaran nama domain tersebut dilakukan oleh lembaga pengelola pendaftaran nama domain yang dapat dibentuk oleh masyarakat maupun pemerintah.
Berkaitan dengan masalah perlindungan terhadap hak-hak pribadi, setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi yang benar melalui media elektronik. Dalam pemanfaatan teknologi informasi, Hak pribadi ( privacy right ) merupakan perlindungan terhadap data seseorang yang mengandung pengertian sebagai berikut:
a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.
b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa ada tindakan memata-matai.
c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.
Masyarakat dapat melakukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang melakukan penyalahgunaan di bidang teknologi informasi yang akibatnya dapat merugikan masyarakat. Setiap orang atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak memanfaatkan teknologi informasi yang mengakibatkan kerugian bagi yang bersangkutan melalui Pengadilan Niaga.
Untuk mengantisipasi kejahatan dengan memanfaatkan teknologi informasi, RUU tentang pemamfaatan teknologi juga telah mengakomodir ketentuan sanksi pidana bagi setiap pihak yang melakukan tindak pidana di bidang teknologi informasi. Pengadilan di Indonesia berwenang mengadili setiap tindak pidana di bidang teknologi informasi yang dilakukan setiap orang, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia yang akibatnya dirasakan di Indonesia. Kejahatan-kejahatan pidana yang dimaksud meliputi:
1. Penggunaan nama domain yang bertentangan dengan Hak kekayaan intelektual milik orang lain.
2. Perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum mengakses data melalui komputer atau media elektronik lainnya dengan atau tanpa merusak sistem pengaman.
3. Perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum dengan maksud untuk mengguntungkan diri sendiri atau orang lain menahan atau mengintersepsi pengiriman data melalui komputer atau media elektronik lainnya.
4. Perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum mengintersepsi pengiriman data melalui komputer atau media elektronik lainnya sehingga menghambat komunikasi dalam sistem komputer atau jaringan komputer atau sistem komunikasi lainnya.
5. Perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum memasukkan, mengubah, menambah, menghapus atau merusak data komputer, program komputer atau data elektronik lainnya.
6. Perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan, memasukkan, mengubah, menambah, menghapus atau merusak data elektronik yang mengakibatkan timbulnya kerugian ekonomis bagi orang lain.
7. Perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum memasukkan, mengubah, menambah, menghapus atau merusak data komputer, program komputer atau elektronik lainnya yang mengakibatkan terganggunya fungsi sistem komputer atau sistem media elektronik lainnya.
8. Perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum dengan maksud untuk mengguntungkan diri sendiri atau orang lain mengambil atau mengakses data kartu kredit atau alat pembayaran elektronik lainnya atau menyimpan data tersebut di luar kewenangannya dalam media komputer atau media elektronik.
9. Perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum dengan maksud untuk mengguntungkan diri sendiri atau orang lain menggunakan kartu kredit atau pembayaran elektronik lainnya milik orang lain dalam transaksi elektronik.
10. Perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum membuat, menyediakan, menggirimkan, atau mendistribusikan data atau tulisan atau gambar atau rekaman yang isinya melanggar kesusilaan dengan menggunakan komputer atau media elektronik lainnya.
CONTOH SENGKETA DALAM DUNIA MAYA (CYBER)
SENGKETA 1 : CYBER CRIMES DALAM DUNIA PERBANKAN
Sengketa tentang 2 orang warga negara Indonesia melakukan akses secara illegal terhadap jaringan komputer perbankan Citibank dan Bank BNI cabang New York. Kejahatan ini dilakukan oleh dua orang pelaku dari sebuah hotel di kota New York dan berhasil melakukan transfer illegal dari kedua bank ini sebesar US$ 9,000.000 ke rekening pelaku di berbagai bank asing.
Identitas kedua orang tersebut berhasil dilacak dan pengadilan menghukum mereka dengan menggunakan konstruksi hukum sebagai delik pencurian (Ramli,2002 : 107)
SENGKETA 2 : CYBER CRIMES PERUSAKAN WEBSITES (CYBERHAKERS)
Bentuk pelanggaran menggunakan jasa internet terjadi pula dengan cara perusakan terhadap website. Sengketa ini terjadi, antara lain, perusakan terhadap website milik pemerintah Singapura yang dilakukan oleh seorang remaja warga negara Indonesia. Kejahatan perusakan websites ini dilakukan oleh pelaku ketika dia berada di Australia terhadap websites pemerintah Singapura. Ketika pelaku berjalan-jalan ke Singapura, kejahatan serupa ia lakukan melalui sebuah warnet di negara kota tersebut. Perbuatan ini berhasil dilacak oleh pihak berwajib Singapura dan kemudian menangkap remaja tersebut di negara itu.
SENGKETA 3 : CYBER CRIMES MENGGUNAKAN KARTU KREDIT SECARA TIDAK SAH
Bentuk kejahatan ini dilakukan dengan menggunakan kartu kredit milik orang lain. Bentuk kejahatan ini sangat marak di Indonesia akhir-akhir ini, terutama dilakukan oleh orang-orang yang hendak menggunakan saran internet dengan mencuri nomor kartu kredit milik orang lain dan memanfaatkannya untuk kepentingan si pelaku (Ramli dalam Kantaatmadja, 2002 :107)
SENGKETA 4 : SENGKETA PEMILIKAN DOMAIN NAME
Sengketa Mustika Ratu lawan Tjandra Sugiono adalah sengketa baru yang terjadi di tanah air. Sengketa ini sebenarnya sengketa yang cukup banyak terjadi akhir-akhir ini di dunia seiring semakin banyaknya domain names yang didaftar oleh pemiliknya. Sengketa Mustika Ratu adalah sengketa mengenai domain oleh para pihak yang merasa mereka sebagai pemilik domain name yang sah.
Sengketa antara Mustika Ratu lawan Tjandra Sugiono merupakan sengketa pelanggaran merek dagang yang didaftarkan oleh perusahaan mustika ratu melawan Sugiono yang merasa bahwa domain name mustika ratu tersebut didaftarkan olehnya (sebagai mantan manager perusahaan mustika ratu).
SENGKETA 5 : SENGKETA DOMAIN NAME DI LUAR NEGARI
Sengketa tentang domain name yang kemudian ternyata dapat menimbulkan perselisihan dengan perusahaan lain yang juga mendaftarkan domain name yang sama. Dalam hal ini yang dijadikan tolok ukur oleh pengadilan adalah ada tidaknya itikad baik atau sebaliknya ada tidaknya itikad buruk dari para pihak yang mendaftarkan sesuatu domain name.
Sengketa ini terjadi di berbagai negara. Di Inggris misalnya, sengketa yang terjadi antara lain : British Telecomunication Plc v One in a Million Ltd (1998), atau Marks & Spencer Plc v One in a Million Ltd.
SENGKETA 6 : JURISDIKSI BADAN PERADILAN DALAM MENANGANI SENGKETA CYBER CRIMES ATAU CYBER DISPUTES
Masalah lain yang timbul dari sengketa dunia maya adalah masalah jurisdiksi atau kewenangan badan peradilan dalam menangani sengketa di bidang ini. Masalahnya adalah hingga dewasa ini badan-badan pengadilan di dunia menggunakan pendekatan jurisdiksi yang berbeda diantara satu sistem hukum dengan sistem hukum lainnya : apakah itu sistem hukum common law atau civil law. Sengketa-sengketa di bidang dunia maya memang baru terjadi pada kedua sistem hukum ini. Sengketa di bidang di bidang hukum lainnya misalnya sistem hukum Islam, sistem hukum Eropa Timur (komunis), atau Amerika Latin belum banyak terjadi.
Contoh sengketa yang terjadi misalnya saja sengketa Playboy Enterprise v Chuckleberry (1995), Compu Serve v Patterson (1996), atau United States v Thomas (1996) adalah sekedar contoh sengketa di mana pengadilan antara lain menentukan bahwa pengadilan yang berwenang mengadili pelanggaran-pelanggaran internet adalah pengadilan di mana pihak penggugat berdomisili (plaintiff?s domicile) atau tempat di mana suatu perusahaan memiliki tempat usaha tetap (principal place of business) (Wiston, 2002 :2)
PENUTUP
Dari paparan tersebut diatas, penulis menarik kesimpulan dan saran :
1. Dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi informasi dan masyarakat informasi yang dinyakini merupakan salah satu agenda penting masyarakat dunia di milenium ketiga, maka sudah saatnya dibuat undang-undang yang mengatur tentang Pemanfaatan Teknologi Informasi. Dalam hal merancang Undang-Undang ini sebaiknya diselaraskan dengan kesepakatan dan norma-norma hukum Internasional.
2. Dalam mengeluarkan Peraturan yang berkaitan dengan Teknologi Informasi, harus selalu memperhatikan kemungkinan-lemungkinan yang yang timbul berkaitan dengan munculnya kejahatan baru yang lebih canggih dalam bentuk cyber crime.
3. Pihak swasta harus merupakan aktor utama di bidang e-commerce.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kenny Wiston, 2002, The Internet : Issues of Jurisdiction and Controversies Surrounding Domain Names, Citra Aditya Bakti, Bandung.
2. Mieke Komar Kantaatmadja, et.al., 2002, Cyber Law : Suatu Pengantar, ELIPS, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Sahabat Sangat Berarti Bagi Blog ini
Mohon cantumkan url blog/twitter/Open ID/facebook sahabat
Please...Tinggalkan Komentar Sahabat dan
Beri Tanda di salah satu pilihan pendapat

Terima Kasih Atas Kunjungannya

Jika Sahabat MErasa SUka dGn BloG ini

AddThis

Bookmark and Share

ASR

Search Engine

Postingan Terpopuler

BERBAGI UNTUK SAHABAT

Jika sahabat ingin Punya Web...klik disini Jika sahabat ingin Punya Blog... klik disini